a choice that change my life

Jumat, 26 April 2013

Petualangan di Kamboja (6): Museum Genocide di Choeung Ek, Mengerikan!

Musem Genocide atau Killing Field ini terletak 15 km dari kota Phnom Penh. Sumpah ini adalah museum horor yang pertama kali kukunjungi. Bahkan saat aku menulis posting ini tengah malam sambil menggali informasi dan mencari foto dokumentasi tentang Museum ini, aku merinding sendiri. Apalagi tengkorak manusia masih kerap ditemukan setelah hujan. Museum ini juga tergolong baru karena diresmikan sekitar tahun 2005. Korban yang dibunuh disini antara 1975-1979.


Sejarah Kamboja Saat Rezim Pol Pot


Sejarah sedih rakyat Kamboja dimulai sejak adanya kekuasaan komunis dari Pol Pot. Penguasa kejam ini berkuasa tahun 1975-1979 dan membunuh 25% dari populasi Cambodian (orang Kamboja) yaitu sekitar 2 juta orang.

Pol Pot lahir pada tahun 1925 dari keluarga petani di Kamboja Tengah. Pada umur 20 tahun, dia mendapat beasiswa untuk sekolah di Paris jurusan radio elektronika. Lalu dia bergabung dengan paham Marxisme atau komunis sehingga dia gagal dan dikembalikan ke Kamboja. Saat itu, Kamboja telah memperoleh kemerdekaan yang diberikan oleh Prancis. Tahun 1962, Pol Pot menjadi ketua Partai Komunis Kamboja dan melarikan diri ke hutan karena diancam oleh Raja Kamboja- Norodom Sihanouk. Lalu dia menyusun kekuatan untuk menghancurkan pemerintahan Sihanouk.


Tahun 1970, Raja Sihanouk malah dihancurkan oleh kemiliteran US (United States/Amerika Serikat) dimana saat itu US juga menguasai Vietnam. Hal itu membuat Raja Sihanouk bersekutu dengan Pol Pot untuk menghancurkan kekuasaan US. Pada saat yang sama, US melancarkan serangan bom ke Vietnam. Masyarakat Vietnam utara memilih bergabung dengan Pol Pot dan menetap di Kamboja.

Tahun 1975, US menarik pasukan dari Vietnam. Pemerintahan Kamboja sudah kehilangan kekuasaan karena korupsi dan dukungan. Kesempatan ini dimanfaatkan Pol Pot untuk menginvasi Phnom Penh dan mengambil alih kekuasaan.

Disinilah rezim Pol Pot yang radikal dimulai. Dia mengaplikasikan Revolusi Mao Zedong dari Komunis China untuk mendirikan negara agraris. "Great Leap Forward" ekonomi milik Mao dilakukan oleh Pol Pot termasuk membersihkan "musuh atau pemberontak" yang tidak menyetujui idenya. Pol Pot juga mengganti nama Kerajaan Kamboja menjadi Republik Demokrasi Kamboja. Dia menyatakan tahun awal kekuasaanya sebagai "Tahun Nol" dan "memurnikan" masyarakat. Pol Pot menghapus segala bentuk kapitalisme, budaya barat, kehidupan kota, agama dan pengaruh asing lalu memasukkan doktrin komunis ektrim.


Semua orang asing diusir, kedutaan besar ditutup, penggunaan bahasa asing dilarang, segala media ditutup, agama dilarang, pendidikan dihentikan, perawatan kesehatan dicabut. Kamboja tertutup dari dunia luar. Bahkan di Phnom Penh dua juta penduduk dievakuasi dibawah todongan senjata dan berjalan kaki ke pedesaan. Semua orang dievakuasi paksa untuk kerja rodi di pertanian. Mereka diminta meningkatkan hasil pertanian tiga kali lipat.

Jutaan orang Kamboja mulai sekarat dengan ulah Pol Pot. Mereka juga hanya diberi makan sekaleng beras (180 gr) per orang setiap dua hari. Hari kerja dimulai 04.00 sampai 10 malam. Semuanya diawasi oleh pengawas bersenjata Pol Pot dan mereka membunuh siapapun yang melakukan pelanggaran.

Di seluruh Kamboja dilakukan "pembersihan" terhadap orang berpendidikan, orang kaya, biksu, polisi, dokter, pengacara, guru, dan pejabat besrta keluarga mereka. Termasuk pendukung Pol Pot yang dicurigai membangkang juga dibunuh. Slogannya " Semua yang busuk harus dihilangkan".

Tuol Sleng, sekolah yang diubah menjadi penjara juga merupakan saksi dimana lebih dari 20.000 orang disiksa bahkan langsung dibunuh tanpa ditanya. Kelompok minoritas: Vietnam, China, dan Muslim juga diserang. Diperkirakan 50% orang China yang tinggal di kamboja tewas. Bahkan kaum muslim dipaksa memakan babi, siapapun yang menolak langsung tewas.

Tahun 1978, Vietnam meluncurkan serangan besara-besaran ke Kamboja untuk mempertahankan perbatasan mereka. Phnom Penh jatuh ke tangan pembelot Pol Pot. Pol Pot mundur sampai perbatasan Thailand dan bergerilya melawan pemerintahan Kamboja. Setelah bergerilya selama 17 tahun sampai 1990, dia kehilangan kekuasaan. tahun 1998, Pol Pot meninggal akibat serangan jantung sebelum dibawa ke pengadilan internasional. (sumber: http://www.historyplace.com/worldhistory/genocide/pol-pot.htm)

Choeung Ek, Tempat Pembantaian Massal


Mengunjungi museum ini, kita seolah menjadi saksi hidup pembantaian masa lampau. apalagi tempat dimana museum tersebut berdiri adalah tempat pembunuhan yang sesungguhnya. Museum ini hanya berupa tempat terbuka dengan tulisan alur 1-16 (aku lupa karena aku tidak membeli paket audio) dan dilengkapi dengan audio di setiap titiknya. Pengunjung serasa akan menjadi korban pembunuhan. Berikut ini tulisan di papan yang tertampang.

1. Masa-masa hukuman kegelapan. Disinilah tempat korban dari penjara Tuol Sleng tiba. Mereka diangkut dengan truk dan dieksekusi secepatnya setelah truk itu tiba. Angka orang yang di eksekusi semakin meningkat mencapai 300 orang per hari. Eksekutor yang gagal membunuh akan dibunuh di hari berikutnya. Mereka dibunuh dengan hukum pancung di ruang gelap bahkan sesama korban tidak bisa saling melihat.


Membaca ini saja sudah membuatku merinding. Apalagi kalau membayangkan disinilah dulu truknya berhenti.

2. Kantor Eksekutor (pembunuh). Disinilah berdiri kantor eksekutor. Mereka dilengkapi dengan peralatan elektronik untuk membaca tanda dan melangsungkan eksekusi.


Tambah merinding, untung saja aku tidak memesan paket audio. Apalagi saat kulihat di museumnya, setiap korban yang akan dibunuh dicatat dan catatanya masih ada hingga sekarang.

3. Tempat penyimpanan zat kimia. Disinilah tempat penyimpanan zat kimia seperti DDT dsb. Eksekutors melumurkan zat ini ke mayat untuk menghilangkan bau mayat dan juga membunuh apabila mayat tersebut masih hidup saat dikubur.


Jadi pembunuhan ini dilakukan secara rahasia saat rezim Pol Pot. Menakutkan juga tiba-tiba seperempat penduduknya hilang. Tapi tak ada yang menuntut, hal ini karena jika membunuh satu, maka satu keluarga juga dibunuh termasuk anak dan istrinya.

4. Konservasi Kanal. Kanal ini dibangun untuk melindungi kuburan dari banjir yang menyebabkan mayatnya keluar.

Kanal tersebut juga digunakan sebagai pembunuhan, langsung ditenggelamkan ek dalam kanal. Disekitar kanal terdapat tebu yang juga digunakan untuk membunuh.

5. Pohon Ajaib. Pohon ini digunakan untuk menggantungkan sound system. Bunyi lagu disetel keras untuk mengalahkan bunyi orang yang menjerit.


Horor banget!!Apalagi kalau lihat pohon itu masih berdiri kokoh.

6. Pohon Beracun

Entah apanya yang digunakan untuk membunuh, yang jelas menakutkan juga.

7. Pohon untuk Menggantung. Di sinilah kaki bayi digantung di dahan pohon lalu kepalanya dipukul sampai mati.

Spechless. Bahkan di audio di katakan jika memperhatikan pohon dengan lebih jelas, maka ditemukan bekas darah.

8. Tengkorak dan Gigi. Meski sudah dilakukan penggalian pada tahun 1980. Sampai saat ini masih ada tengkorak yang muncul ke permukaan terutama setelah banjir dan hujan.


9. Kuburan 166 tengkorak tanpa kepala

10. Kuburan bayi dan perempuan yang ditemukan telanjang.

11. Mohon tenang dan hormati korban yang terbunuh selama Rezim Pol Pot.

Pemberhentian terakhir adalah menara tengkorak. Menara ini digunakan untuk menghormati korban,didalamnya berisi tengkorak kepala yang telah diidentifikasi dan diawetkan. Sekian, aku sudah tak mampu menulis banyak karena ngeri. Silahkan datang sendiri ke lokasi.

(masih ngeri sendirian di kamar).


Read More

Petualangan di Kamboja (5): Mengupas Kehidupan Cambodian di Phnom Penh

Pertanyaan besar tentang kehidupan di Kamboja (http://elitachoice.blogspot.com/2013/04/petualangan-di-kamboja-1-sekedar-review.html) membuatku berpikir pasti ada sesuatu yang buruk menimpa negara ini. Ternyata itu memang benar adanya. Pertanyaan itu terjawab saat aku mengunjungi Phnom Penh, terutama di Museum Genocide, Choeung Ek. Ini adalah pengalaman pertamaku berwisata menakutkan dan mendapat banyak hikmah.

Royal palace (Throne Hall) di Kamboja.

Kami berangkat menuju Phnom Penh- ibukota Kamboja dari Siem Reap. Kami naik van dan menempuh perjalanan selama enam jam. Ini travelnya agak nggapleki juga. Kita cewek-cewek pembolang, diberi tempat duduk paling tidak enak se-van yaitu bagian belakang. Bayangkan udah kursinya tidak bisa diatur maju-mundur, pijakan kaki ketinggian (kakiku ga nyampe dasar), duduk harus menekuk, pas diatas ban, yang paling parah adalah jalan di Kamboja bolong-bolong (mirip jalan Romokalisari Gresik-Surabaya sebelum direnovasi). Sumpah duduk di belakang itu kayak main Tagada selama enam jam. Tahu kan permainan Tagada? yang kita duduk di piringan yang berputar, di goyang atas-bawah, diputar-putar dengan kemiringan tertentu. Mirip wes! Bedanya di Tagada sungguhan diputer lagu goyang disko, lha di 'Tagada van' diputer lagu melow Kamboja. Jadi kami di ayak (memilih beras dengan cara melempar dengan tempeh) di van sambil ditemani lagu slow. 

Separah apa 'Tagada' di dalam van? Putri yang terhitung tinggi sampai kejedok atap mobil van kalau ada lubang atau jendulan, sedangkan aku selalu ketatap jendela berkali-kali. Kerudung sudah tak karu-karuan, makanan didalam perut serasa mau keluar, kadang kami berempat (aku, Kak Lila, Dini, Putri) tindih-tindihan setelah terlempar, dan itu terjadi selama enam jam (backsound: jeng jeng). Apa yang bisa kami lakukan? Pasrah, berdoa, dan sambil sesekali mengumpat jalanan dan sopir Kamboja. Ternyata doa kami ada yang langsung di kabulkan yaitu bermain 'Tagada' dengan diiringi lagu disko. Entah kesambet setan apa, sopir van tiba-tiba mengganti lagu melow Kamboja dengan lagu disko macam Pitbull, PSY, dan sebagainya. Jadilah kami berempat bule gila didalam van: Clubbing gratisan di dalam van. Kepala goyang-goyang, tangan melambai kekiri dan ke kanan. Malah seneng kalau ada jendulan atau lubang, tangan diangkat ke atas macam naik roller coaster (backsound: ...dancing on the floor.on the floor...) Yihaa!

Odi & Aku di pasar malam Phnom Penh (Bukan skandal,karena tak nemu foto lain). Taken by: kak Lila.

Akhirnya van laknat itu sampai juga di Phnom Penh. Keluar dari van rasanya pusing dan masih goyang-goyang akibat efek Tagada. Lalu kami menuju penginapan Velkommen Guesthouse dengan van. Ternyata sampai sana, Odi tidak kebagian kamar dan menginap di kamar mix-dormitory alias campur cewek dan cowok. Memang kamar jenis seperti itu sudah biasa untuk pelancong dengan budget terbatas. "Tahu gitu, aku nginep di kamar kalian aja," ungkap Odi karena sebenarnya kamar besar yang kita tempati tersedia untuk enam orang. Tapi aku menolak (yang lain setuju kalau Odi nginep), kenapa? untuk pengalaman :p . Maaf ya di, aku jahat. Kan ikutnya ndadak, lagipula aku juga pernah nginep di hostel macam mix-dormitory, untungnya saat itu cewek semua. Aku sebenarnya malah seneng nginep di dormitory (female) karena aku bisa berkenalan dengan para pelancong lain. Perasaan kalau jalan-jalan sendirian aku selalu nginep di dormitory, mulai dari Singapore- Kuala Lumpur-Penang-Pattaya, aku lebih memilih kamar jenis ini. Siapa tahu dapet sahabat baru untuk mbolang [pengalaman:http://elitachoice.blogspot.com/2013/03/cerita-mudik-iv-penang-heritage-town.html ] :)

Pemandangan di pinggiran sungai. taken by: Kak Lila.

Kami keluar malam hari menuju Pasar Malam menyusuri pinggiran sungai dari danau Tonle Sap yang nantinya akan menjadi satu dengan Sungai Mehkong. Malam itu sebenarnya malam pergantian tahun di Kaboja. Tapi krik krik krik.. Sepi. Bahkan pasar malamnya juga sepi. Namun sebagai bangsa Indonesia yang tinggal di Thailand, kami pasti belanja. Aku juga belanja kaos 2$, lumayan murah dengan kualitas yang bagus. Tempat dinner kami: KFC, ternyata sudah tutup. Jadilah aku beli jagung rebus sambil duduk di tepian sungai. Terlihat lampu kuning yang dipasang di seberang sungai, dan beberapa gedung tinggi. Angin sepoi-sepoi. Romantis. Tiba-tiba "Pyarrr". Sekelompok pemuda gila beberapa meter dari kami, melempar botol bir ke arah sungai. Kami langsung menyingkir secara cepat dan hampir lari. Sungguh sangat disayangkan, tempat seindah itu malah menjadi tempat yang menakutkan. Perjalanan kami malam itu berakhir dengan makan mi gelas di toko kelontong.

Keesokan harinya di tanggal 14 April 2013, kami menjelajahi dua tempat: Royal Palace dan Museum Genocide. Kami juga sempat mampir ke Central Market yang sepi karena hari libur.

Royal Palace, Kamboja Juga Punya Kerajaan


Bisa dibilang ini adalah fakta yang membuatku terkejut yaitu Kamboja menganut asas monarki atau kerajaan seperti halnya Thailand. Pasalnya aku tak melihat tanda-tanda adanya raja kalau tidak berkunjung ke Royal Palace. Tak ada foto Raja Kamboja yang di agungkan seperti halnya foto Raja Thailand yang tertampang dimana-mana. Menurut opiniku, sistem kerajaan disini tidak memberi dampak yang signifikan terhadap kemakmuran penduduk.
Model: aku :p . taken by: Zjahra.
Grup photo! Kak Lila-Dini-Zjahra-Odi-Putri-Aku.

Royal Palace atau istana raja di Kamboja indah tapi sederhana. Mungkin ini gara-gara aku sudah melihat duluan Royal Palace milik Thailand yang ngejreng dan mewah, jadi Royal Palace Kamboja terlihat biasa saja. Namun tetap saja ini istana yang besar dan mewah jika di komparasikan dengan kemakmuran masyarakat Kamboja.

Silver Pagoda.

Masih ingat tentang kerajaan Angkor yang kubahas di post sebelumnya (http://elitachoice.blogspot.com/2013/04/petualangan-di-kamboja-4-sejarah-angkor.html) ? Ini adalah kerajaan yang sama, pusat kerajaan dipindahkan dari Siem Reap ke Phnom Penh. Pusat pemerintahan dipindahkans ekitar abad ke -15 setelah Siem Reap di hancurkan oleh kerajaan Siam. Sedangkan Royal Palace atau Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea mulai dibangun pada tahun 1866.

Taman didepan Silver Pagoda.

The Royal Palace (Khmer: ព្រះបរមរាជាវាំងនៃរាជាណាចក្រកម្ពុជា, Preah Barum Reachea Veang Nei Preah Reacheanachak Kampuchea), in Phnom Penh, Cambodia, is a complex of buildings which serves as the royal residence of the king of Cambodia. Its full name in the Khmer language is Preah Barum Reachea Veang Chaktomuk Serei Mongkol (Khmer: ព្រះបរមរាជវាំងចតុមុខសិរីមង្គល). The Kings of Cambodia have occupied it since it was built in 1860's, with a period of absence when the country came into turmoil during and after the reign of the Khmer Rouge.The palace was constructed after King Norodom relocated the royal capital from Oudong to Phnom Penh in the mid-19th century. It was gradually built atop an old citadel called Banteay Kev. It faces towards the East and is situated at the Western bank of the cross division of the Tonle Sap River and the Mekong River called Chaktomuk (an allusion to Brahma). Sumber: wikipedia

Salah satu stupa di Royal Palace.

Ketara saya males banget terjemahin dari bahasa Inggris X_X. Intinya di dalam Royal Palace terdapat beberapa bangunan. Pertama, Throne Hall digunakan untuk tempat duduk raja dan didalamnya terdapat singgasana yang wah. Atapnya terdapat lukisan tentang kehidupan Kamboja dengan gaya yang sama seperti relief di Angkor wat bedanya ini berwarna. Moonlight Pavilion, digunakan untuk latihan dan pertunjukan tari. Ada juga tempat persembahyangan untuk Budha, didalamnya ada patung Budha emas seberat 90 kg. Katanya hal yang juga unik adalah Silver Pagoda. Saat kulihat biasa saja, warnanya pun tidak silver malah mendekati warna batuan tak jelas. Namun saat kucari informasi, ternyata Silver pagoda ya tempat persembahyangan tadi. Logam perak asli terdekorasi didalam bangunan dan mungkin aku tak memperhatikannya.
Gajah putih??Ini ikon Thailand apa Kamboja hayo?

Museum Genocide di Choeung Ek, Mengerikan!

Choeng Ek, Genocidal Museum.

Musem Genocide atau Killing Field ini terletak 15 km dari kota Phnom Penh. Sumpah ini adalah museum horor yang pertama kali kukunjungi. Bahkan saat aku menulis posting ini tengah malam sambil menggali informasi dan mencari foto dokumentasi tentang Museum ini, aku merinding sendiri. Museum ini juga tergolong baru karena diresmikan sekitar tahun 2005. Korban yang dibunuh disini antara 1975-1979. 

Bersambung... di episode Petualangan di Kamboja (6). Maaf ya kalau kayak sinetron (^_^)v.
Read More

Rabu, 24 April 2013

Petualangan di Kamboja (4): Sejarah Angkor, Bekas Kerajaan Terbesar di ASEAN

Menjelajahi tempat sebesar Angkor Wat membuatku bertanya seperti apa kehidupan kerajaan ini dulunya? Sekilas aku bandingkan dengan pusat kerajaan Majapahit di Mojokerto, daerahnya memang luas namun menurutku candinya sudah banyak yang hancur, beberapa yang tersisa seperti: Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Brahu, Kolam besar dan sebagainya. Berikut ini cerita yang kutulis saat menyambangi situs Majapahit http://elitachoice.blogspot.com/2012/01/menelusuri-sejarah-majapahit-di.html . Aku berpikir seharusnya pusat Majapahit lebih indah daripada yang tersisa sekarang karena ada bukti yang menyebutkan bahwa pusat kerajaan ini sangat besar bahkan istananya dilapisi emas dan perak. Sedangkan Angko Wat, luar biasa besarnya dan nilai plusnya candinya masih utuh, meski hanya berupa batu. Seharian takkan cukup menyambangi seluruh candi di Angkor Wat. Bahkan tersedia tiket pass tiga hari untuk menjelajah Angkor Wat.

Siluet Angkor Wat.

Di sisi lain, aku juga heran kenapa candi di Angkor Wat agak mirip dengan candi di Indonesia yaitu bentuk menjulang seperti gunung. Namun bahan yang dipakai agak berbeda yaitu batu hitam, sedangkan di Indonesia menggunakan bahan yang mirip bata merah. Justru bahan ini malah mirip dengan candi di Ayutthaya Thailand. Aslinya kerajaan jaman dulu di ASEAN itu mbulet ae. Berikut ini sejarah dari kerajaan Angkor yang kutulis ulang dari buku The Siem Reap Visitor Guide.

Bagian dalam komplek Angko Wat, setelah jembatan.

Angkor artinya Ibukota atau Kota Suci. Sedangkan Khmer berarti etns dominan yang menempati Kamboja. Kerajaan Angkor pada saat itu disebut juga Khmer Empire berkuasa di abad ke 12. Diperkirakan Kerajaan Angkor ditempati oleh jutaan, hal ini dibuktikan dengan adanya sistem irigasi dan bangunan besar (candi) dan perekonomian, kemiliteran, dan budaya terlihat kental di daerah Kamboja dan juga kekuasaan Kerajaan Angkor (Thailand, Laos, dan Vietnam).

Abad Pertama: Indianisasi

ASEAN digunakan sebagai jalur perdagangan Mediterania ke China. Hal ini otomatis juga akan mempengaruhi agama, budaya, politik, dan juga edukasi. Pengaruh India yang kuat menjadikan tumbuhnya sistem kekuasaan seperti India. Sebenarnya Indonesia juga mengalami hal yang serupa, dibuktikan dengan adanya kerajaan Hindhu dan Budha yang berkembang. Kerajaan Hindu pertama adalah Kutai di Kalimantan.

Salah satu stupa yang menjulang didalam Angkor Wat.

Funan dan Chendia: Pre- Angkor

Kerajaan yang dipengaruhi oleh India, kekuasaannya tidak seberapa luas. Funan merupakan contoh kerajaan pada saat itu. Kebudayaan China juga mulai mempengaruhi wilayah tersebut. Salah satu bagian dari kerajaan Funan adalah Chendia. Lalu Chendia memberontak dan menjadi kerajaan yang berpengaruh. Raja yang berkuasa di jaman ini adalah Jayawarman I. Setelah itu Chendia terbagi menjadi dua Kerajaan yaitu Chendia darat di daerah Laos dan Chendia Air di daerah Kamboja.


Pemandangan dari puncak Angkor Wat.

Awal Kerajaan Angkor

Awal pendirian kerajaan Angkor dimulai pada masa Jayavarman II. Sebenarnya raja ini ada hubungannya dengan kerajaan di Indonesia karena Jayavarman II pernah menimba ilmu dari Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa. Dia terpesona dengan kemakmuran pada jaman Syailendra (Kerajaan Kalingga-Mataram-Sriwijaya). Sehingga dia terinspirasi untuk membangun kerajaan yang serupa di daerah Kamboja. Sebenarnya bukti sejarah pada saat itu agak rancu. Ada yang menyebutkan bahwa raja keturunan wangsa Syailendra berasal dari Funan-Kamboja yang mengungsi karena kekacauan di negaranya. Artinya kita (bangsa Indonesia) masih memiliki silsilah dengan penduduk Kamboja. Namun fakta lain  menyebutkan bahwa wangsa Syailendra sudah ada turun-temurun dan bermukim di daerah Sumatra sejak jaman lampau.

Lantas bagaimana Jayavarman II bisa sampai ke pulau Jawa dan kembali lagi ke Kamboja? Kemungkinan yang paling besar adalah kerajaan Mataram yang dimotori oleh Raja Dharanidra menaklukan daerah Chendia Air (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Wangsa_Sailendra ). Jayavarman II sebagai keturunan raja ikut dibawa ke Pulau Jawa, yang saat itu Jawa Tengah adalah pusat pemerintahan. seperti yang kita lihat, bukti keemasan era jaman itu adalah Candi Borobudur. Jayavarman besar di era kerajaan Mataram yang juga berhasil menguasai Sriwijaya. Menurut opiniku, Raja Mataram mengirim kembali Jayavarman II ke Kamboja karena daerahnya terlalu jauh. Raja Mataram ingin Jayavarman II dapat mengontrol di daerah itu.

Singkatnya Jayavarman II mengenalkan diri sebagai sosok raja tunggal pengganti Jayavarman I di daerah Chandia-Kamboja. Tak heran, dia menerapkan apa yang sudah dipelajari dari pulau Jawa: politik, seni, agama, dan arsitektur. Jadi kita boleh sedikit bangga karena bangsa lain menimba ilmu dari bangsa kita dan sedikit banyak bisa mengklaim bahwa Angkor Wat "anak" dari Borobudur (tapi bukan jenis klaim pulau-pulauan kayak Indonesia-Malaysia lho). Well,  kita bangsa ASEAN sebenarnya punya ikatan persaudaraan yang kuat.

Rolous: Ibukota Pertama

Jayavarman II melebarkan kekuasaan dan memiliki ibukota di Rolous, 13 km dari Siem Reap. Area tersebut dinamakan Hariharalaya yang menggabungkan nama dewa Hindu, Shiva dan Wisnu. 30 tahun setelah Jayavarman II meninggal, kekuasaan diteruskan oleh Indravarman I. Dia membangun candi bernama Preah Ko untuk menghormati Jayavarman II. Lalu dia juga membangun Bakong yang memiliki arsitektur seperti gunung, layaknya Borobudur. Sedangkan pada jaman Raja Indravarman III, dia membangun tempat penyimpanan air.

Terrace of elephant di Angkor Thom.

Khmer Empire di Angkor

Raja Yasovarman I, meneruskan tradisi dari ayahnya yaitu Indravarman III untuk membangun candi  di daerah Angkor. Sekitar era tersebut, daerah kekuasan semakin berkembang. Jaman keemasan terjadi saat dipimpin Raja Suryavarman I. Dia memiliki kemiliteran yang sangat kuat dan sanggup menaklukkan kerajaan Mon Empire (Thailand/Siam) yang termasuk seluruh daerah di thailand dan sebagian Myanmar, Kerajaan Champa (Vietnam). Pada jaman ini juga dibangun banyak candi, salah satunya Angkor Wat yang tersohor.

Bayon yang terletak di komplek Angkor Thom.

Sekitar akhir abad ke 12, Raja dari Champa muncul lagi dan memberontak dari dalam pemerintahan Khmer sehingga Raja Khmer bisa dibunuh. Saat itu terjadi perang di daerah Ibukota yaitu Siem Reap antara Kerajaan Khmer dan Champa. Kerajaan Champa menerima bantuan dari daerahnya lewat sungai Tonle Sap ke danau Tonle Sap dan menyerang ibukota. Bukti adanya perang digambarkan di candi Bayon yaitu adanya perang dengan kapal. Champa menang dan menguasai daerah Siem Reap selama empat tahun.

Detail ukiran candi Bayon.

Kerajaan Champa dapat dipukul mundur oleh Khmer Empire yaitu Jayavarman VII. Raja yang beraliran Budha ini membangun kembali ibukota dengan lebih baik. Pada jaman itu dibangun daerah Angkor Thom yang luas, termasuk candi Bayon (stupanya berwajah manusia), Ta phrom, Kdei, Preah Khan. Pada saat yang sama, Raja ini juga menyerang kembali kerajaan Champa dan berhasil menaklukkannya.
Ta Phrom.

Bagian dalam Ta Phrom

Ta Phrom dengan nuansa hutan.

Akhir dari Khmer Empire

Sekitar abad ke 15, Kerajaan Siam (Thailand) yang beribukota di Ayutthaya memberontak dan berhasil melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan Khmer. Cham juga memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri. Sejak saat itu Khmer kehilangan sebagian besar wilayahnya dan memindahkan ibukotanya ke Phnom Penh. Daerah tersebut dipilih karena faktor agraris dan memiliki pertemuan dua sungai, satu sungai mekong dan lainnya sungai dari danau Tonle Sap. Kerajaan Khmer masih ada sampai saat ini di kota Phnom Penh. Rajanya juga ada namun yang kurasakan kerajaan tidak memberi pengaruh signifikan terhadap kemakmuran Kamboja. Hal ini sangat berbeda dengan Thailand dimana Raja dielu-elukan rakyatnya.

Sekian cerita sejarah dari saya. Semoga bermanfaat :)

"Bangsa yang besar adalah bangsa yang mempelajari sejarahnya"- Ir. Soekarno
Read More

Minggu, 21 April 2013

Petualangan di Kamboja (3): Angkor, Bekas Kerajaan Terbesar di ASEAN

"How many temple in here, Bong?" tanya Dini (Bong adalah panggilan 'Pak' di Kamboja). "Many," jawab Bong tuk-tuk asal. Ehh bercanda Bapak tuk-tuk ini,pikirku. Namun saat kulihat buku panduan Siem Reap, aku kebingungan sendiri menghitung jumlah temple yang ada di kawasan Angkor ini. Temple yang tercatat di buku tersebut berjumlah 55. Pantas- many!

Kami berangkat pagi buta dari hotel sekitar jam 5.30, padahal janjinya jam 05.00. Gara-gara kami pulalah pemilik hotel kerepotan menyiapkan sarapan dan membungkus roti baquette bagi kami berlima (Odi tidak dapat jatah karena tanpa booking). Kami memakan roti baguette rame-rame di dalam tuk-tuk yang membawa kami ke situs tersohor di dunia, Angkor Wat. 20$ untuk tiket seharian penuh mengintari situs bersejarah tersebut. Tiketnya lucu lagi, ada foto kita disana. Lumayanlah buat kenang-kenangan.

Sunrise di Angkor Wat adalah sunset terindah yang pernah kulihat.

Sunrise di Angkor Wat adalah sunrise terindah, bahkan lebih indah daripada sunrise yang terlihat dari pantai manapun. Warnyanya oranye manis berpadu dengan peach dan semburat biru pucat. Sang photographer profesional (Kak Lila,Om Odi, dan Zjahra) bahkan meminta Bong tuk-tuk untuk berhenti di tengah jalan dan memotret sunrise. Sedangkan aku cuma 'jepret' dan buyar. "Ayook selak kehabisan sunrise di Angkor Wat," teriakku dan Putri kepada para penjepret sunrise.

Siluet Angkor Wat berpadu dengan sunrise.

Bong melarikan tuk-tuk ke parkiran Angkor Wat. Wow, sunrise yang muncul dari balik Angkor Wat adalah sesuatu! Keindahan era kerajaan masa lampau yang dibawa ke era tahun 2000 masih terlihat jelas. Kilauan matahari pagi mencuat dari balik bangunan temple. Latar langit berwarna oranye pudar, siluet Angkor Wat hitam dan pemandangan tersebut terpantul dari kolam yang dibangun mengelilingi temple. So,wow! Aku terpesona hingga warna indah sunrise memudar dan matahari semakin tinggi.

Kami melangkah gembira menuju bangunan inti melalui jalan besar yang sebenarnya jembatan dan lantainya tersusun dari batuan yang dipahat kotak-kotak. Kanan kiri jembatan terlihat pegangan berbentuk ular nagini berkepala banyak. Masuk ke komplek lewat gate tinggi yang mengelilingi temple, ternyata masih harus melewati jalan setapak lebar,di kanan-kirinya lapangan luas dan berdiri temple kecil. Di depan temple itu ada kolam teratai. Sedangkan bangunan inti tepat di ujung jalan setapak. Tiga ujung temple mencuat, inilah simbol negara di bendera Kamboja. Luas dari Angkor Wat ini 1300 mx 1500m. Kusentuh batuan yang berumur ratusan tahun itu, terlihat hitam dengan hiasan lumut kering. Beberapa bagian direnovasi dan direkatkan dengan semen.

Acara seremoni tahun baru Khmer.

Didepan bangunan utama, terdapat acara seremoni. Kemungkinan perayaan tahun baru Khmer, tahun baru di negara Thailand, Myanmar, Kamboja, dan Laos sama yaitu sekitar bulan April dan menyambut musim panas. Sayangnya di Kamboja tidak ada festival air seperti di negara lainnya. Upacara seremoni itu diisi tari-tarian khas Kamboja.
Aku,Putri,Odi, Dini, Zjahra, dan Kak Lila. Photo by: orang asing yang dirayu minta fotoin kita.

Akhirnya kami memasuki inti dari Angkor Wat. Pucuk temple yang terlihat tiga, sebenarnya ada lima. Bentuk bangunan jika dilihat dari atas adalah persegi, empat candi menjulang 65 meter dari tanah,dibangun di empat sudut dan tengah persegi. Jika dilihat dari depan hanya terlihat 3 pucuk temple yang sebenarnya ada lima.  Lima puncak tersebut menggambarkan bunga teratai. Temple ini beraliran Hindu namun didalamnya terdapat banyak patung Budha karena agama ini menjadi dominan setelah masa keemasan Hindu. Kabarnya temple ini dibangun sebagai temple pemakaman bagi Raja Suyavarman II. Sepertinya temple ini dibangun dengan rancangan yang matang dan masing-masing sisi mengarah tepat pada mata angin. Buktinya matahari bisa terbit dengan indahnya tepat di sela-sela temple.

Bagian dalam Angkor Wat. Photo credit: Kak Lila.

Aku menyusuri ruangan-ruangan tersembunyi di Angkor Wat. Lorong panjang dengan ukiran manusia. Bekas kolam mandi tanpa air. Ruangan terbuka di dalam Angkor Wat. Semua itu mengindikasikan seni manusia yang indah pada jamannya.

Kami terpisah menjadi dua, aku bersama Odi dan Kak lila masih berkutat di dalam AngkorWat dan tak melewatkan kesempatan memanjat tangga tertinggi di AngkorWat. Sedangkan Putri, Zjahra dan Dini sudah berlalu. Benar saja, saat aku sampai parkiran."Nang ndi ae? Sampe keturon,"celoteh anak-anak. Maaf, jarang-jarang bisa mendaki Angkor Wat sampai puncak.

Perjalanan dilanjutkan ke kawasan Angkor Thom. Kawasan ini dilewati sungai dan dikelilingi benteng dengan tinggi sekitar lima meter. Hanya ada empat pintu masuk ke kawasan ini dan semua pintu sesuai dengan arah 4 mata angin. Kawasan dengan luas 3 km persegi ini adalah pusat pemerintahan terakhir kerajaan Angkor. Di tengah kawasan tersebut, terdapat temple Bayon. Temple unik ini terdiri dari empat wajah yang menghadap ke empat sisi benteng.

Berfoto di Bayon. Camera: Odi, yang ambil foto? culik bule.

Udara diluar sangat panas, uniknya saat kami masuk kedalam temple Bayon malah terasa sejuk. Apalagi kalau menempel di batunya, dingin. Benar-benar juara yang merancang ini, dia memperhatikan juga faktor HVAC. Didaerah sini, Putri juga sempat dimintai sumbangan oleh anak kecil. Mintanya ga nanggung-nanggung lagi 10$. Dikasi 50 Baht, ga mau. Ckck,,, akhirnya ditinggal sama Putri.

Model: aku :p. Photo by: Odi.

Perjalanan dari Bayon dilanjutkan dengan jalan kaki ke Baphuon yang masih dalam kawasan Angkor Thom. Katanya sih ini adalah pusat pembelajaran jaman dulu. Banyak siswa yang berasal dari kerajaan lain menimba ilmu disini. Setelah foto geje-geje, kami melanjutkan ke parkiran dan mencari supir tuk-tuk. Masalahnya jam sudah menunjukkan pukul 11. Sedangkan jam 2 siang, van kami akan berangkat ke Phnom Penh.

Mau ke parkiran saja harus jalan jauh tapi untungnya melewati situs yang unik yaitu Terrace of Elephant. Jadi seperti ada jalan yang lebih tinggi sekitar 2 meter dari tanah. Di bagian jalan tersebut terdapat ukiran gajah sepanjang 500 meter. Tapi itu juga membuatku mikir, biasanya di film kerajaan Indonesia semacam 'Angling Dharmo' kan selalu menggunakan transportasi kuda atau yang ga masuk akal dikit dengan elang. Lha kerajaan ini malah menggunakan gajah. Ga kebayang kalau mau ke pasar naik gajah. "Gajah, yo!!" teriak orang jaman dulu. Lalu gajahnya jalan pelan-pelan, bum, bum, bum. Kapan sampainya? Parkirnya dimana?

Foto bareng di Ta Phrom.

Destinasi terakhir adalah Ta Prhom. Temple ini terkenal karena dipakai syuting film Tomb Rider. Ini cuplikannya http://www.youtube.com/watch?v=JrNyuFi2m6M . Sebenarnya aku sendiri belum pernah lihat sih :p. Keunikan temple ini terletak pada pohon yang tumbuh bersatu dengan bagunan, seolah bangunan muncul secara ajaib dari balik akar-akar pohon.

Salah satu setting di film Tomb Rider. Model:Putri.

Sebenarnya bagaimana kerajaan Angkor itu? Kenapa nama daerahnya Siem Reap= Siam R.I.P (Siam=kerajaan Thailand)? Kenapa nama raja Angkor mirip dengan raja Indonesia (Jayawarman/ Indrawarman/ Suryawarman)? Ceritanya akan aku kupas (kayak buah aja) di entri selanjutnya.

In Summary, Angkor Wat is worth to see :p

Narsis biar eksis (^_^)v

Note: Maaf foto narsis semua, maklum masih muda dan agak alay. Apalagi backgroundnya juga cocok buat foto semacam majalah . Foto temple tanpa terkontaminasi orang akan aku upload di posting berikutnya. Suerr (^_^)v
Read More

Petualangan di Kamboja (2): Wisata Sedih di Danau Tonle Sap

Sekitar jam tiga pagi dini hari, kami berenam (Aku, Dini, Putri, Zjahra, Kak Lila, dan Odi) sudah bersiap di depan toko 108 sambil terkantuk-kantuk. Sekitar lima belas menit kemudian, van yang akan membawa kita ke Aranyaprathet datang. Lalu van ini berputar-putar dahulu di daerah Taladthai untuk menjemput penumpang lain. Perjalanan ke perbatasan memakan waktu sekitar 5 jam. Kami diturunkan di dekat pasar border. Setelah tanya kesana-kemari, ternyata kami harus berjalan kaki sekitar 50 meter ke kantor perbatasan. Saat itu terlihat antrian panjang di jalur foreigner. Tapi entah kenapa petugas malah menyuruh kami untuk mengantri di jalur Thailand yang kosong saat tahu kami memegang paspor Indonesia.

Perbatasan Aranyaprathet (Thailand) dan Poipet (Kamboja)

Setelah keluar dari kantor imigrasi Thailand, kami berjalan melewati jembatan. Lalu ambil jalur sebelah kanan dan berjalan sekitar 50 meter ke kantor imigrasi Kamboja. Saat kami kebingungan, ada pria berkemeja rapi yang menyapa kami dan menerangkan dengan bahasa Inggris bagaimana memproses imigrasi disana, sedangkan orang tersebut juga spertinya akan masuk ke Kamboja. Setelah kami berenam selesai menstample paspor, orang berbaju rapi tadi menjelaskan bahwa ada shuttle bus gratis ke terminal Poipet. Kami naik bus tanpa pikir panjang. Sepanjang perjalanan hanya terlihat jalanan beraspal yang berdebu.

Kami turun di terminal bis Poipet dan berputar di terminal untuk mendiskusikan bis mana yang akan berangkat ke Siem Reap. Tiba-tiba ada Bapak berpakaian rapi lain yang berbincang dengan bahasa Inggris fasih. Dia menawarkan harga 9$/orang dengan naik taksi untuk menuju Siem Reap. Beberapa teman tanpa pikir panjang mengiyakan harga tersebut dengan alasan harga tersebut sama dengan harga tiket bis ke Siem Reap. Namun saat kulirik loket penjualan tiket, harusnya satu taksi seharga sekitar 48$, jika kita berenam artinya sartu taksi 9$x6= 54$. Sudahlah yang penting sampai, pikir kami. Meski harus berdusel-dusel di dalam taksi sedan yang diisi tujuh orang plus supirnya. Ehh saat kami mau naik, orang berpakaian rapi yang mengantarkan kami dari perbatasan tiba-tiba minta tips. Asem ternyata dia semacam guide. Akhirnya Putri menyodorkan uang 100 Baht.

Jalanan Kamboja.
Perjalanan Poipet-Siem Reap sekitar 3 jam. Aku duduk di kursi depan bersama Kak Lila. Tak ada pemandangan menarik sepanjang jalan. Hanya dataran tandus dengan hiasan secuplik pohon kelapa atau aren dan sapi kurus. Saking banyaknya sapi, ada tanda lalu lintas berwarna kuning dengan gambar sapi warna hitam. Kurang lebih artinya "Awas sapi". Tanda yang aneh, mungkin sapi disini saking depresinya ga ada rumput segar memilih mati bunuh diri dengan cara menabrakkan diri di jalan raya. Suhu hampir sama dengan Thailand yaitu panas pol-polan apalagi saat itu bulan April termasuk musim panas.

Siem Reap, termasuk salah satu "kota besar" di Kamboja ternyata sebatas desa di Indonesia. Sungguh. Bedanya banyak hotel bagus berjajar di jalan. Namun ya itu tadi, ini mirip kecamatan di Indonesia. Jalanannya sempit, berdebu, dan tidak terlalu ramai. Tiba-tiba taksi tanpa tanda "taksi" ini berhenti dan ganti supir. Supir baru kami pandai berbahasa Inggris dan menjelaskan bahwa supir sebelumnya adalah kakaknya. Dengan kelihaiannya dia menawarkan hotel-hotel dan transportasi di Siem Reap. Sedangkan kami sendiri sudah booking hotel di Home Sweet Home. Bahkan pemilik hotel meng-email padaku untuk menawarkan jemputan gratis didalam kota.

Akhirnya kami sampai di hotel Home Sweet Home dan kami sepakat untuk menyewa taksi di hari itu. Supir taksi menawarkan pada kami untuk berwisata ke danau Tonle Sap. "Very beautiful there, you can see the biggest lake in ASEAN," hasut si supir. "How much?" tanya Kak Lila. "25$," jawabnya. Ulala, mahal amat pikirku. Tapi beberapa teman sudah sepakat untuk ke danau Tonle Sap. Sebenarnya ini bergeser dari rencana awal yang langsung ke Angkor Wat, alasannya situs tersebut tutup jam 5.30 sore sehingga kita rugi di tiket.

Perjalanan ke Tonle Sap memakan waktu sekitar 15 menit. Kami melihat rumah khas pesisir disepanjang jalan, yaitu rumah yang melayang alias rumah panggung. Kami bingung, sebenarnya dimanakah pantainya? yang terlihat hanya cekungan bekas sungai.

Perahu yang membawa wisatawan ke danau Tonle Sap.
Infrastuktur wisata ini bisa dibilang kurang memadai. Jalannya belum dibangun, tapi lampu pinggir jalan sudah  dipasang -_-. Tangganya pun hanya sebatas papan kayu. Kami digiring ke loket dan diminta membayar 25$, rada eman sih tapi mau gimana lagi. Lalu kami turun lewat tangga papan kayu dan naik perahu. Perahu kecil diisi oleh kami berenam, satu supir, satu pembantu supir, dan satu guide. Perahunya sendiri terlihat sudah tua dan agak oyak. Sang guide duduk didepan dan menjelaskan mengenai wisata danau Tonle Sap ini. Namun aku yang duduk dibelakang (3 meter dari guide) sudah tidak dapat menangkap suaranya karena noise yang ditimbulkan mesin perahu.

Menjaring ikan.

Perjalanan ke tengah danau Tonle Sap sekitar satu jam dari tempat pemberangkatan. Pemandangan yang kulihat hanyalah sungai dangkal berwarna teh susu keruh dan tanah agak tinggi di kanan kiri. Kulihat segelintir nelayan melempar jaring dari pinggir sungai. Masa iya ada ikan di sungai teh susu ini, pikirku. Tak ada yang menarik, bahkan wisata Mangrove di Surabaya jauh lebih bagus. Sedih.

Iseng kulihat keterangan di tiketku. Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara. Ternyata danau Tonle Sap ini dihuni hampir 2 juta orang. Semuanya berprofesi sebagai nelayan. Jika musim hujan level air bisa mencapai 12-20 meter, sedangkan jika musim kering hanya 1-2 meter. Pertanyaanku tentang rumah panggung terjawab, ternyata daerah ini dipenuhi air jika musim penghujan. Di tengah danau Tonle Sap, terdapat banyak rumah apung. Rumah tersebut bisa pindah kemana-mana sewaktu-waktu. Berarti tiap pagi orang yang tinggal disana harus mengecek dimanakah mereka sekarang, jangan-jangan udah sampe lautan.

Rumah di danau Tonle Sap.
Dari kejauhan terlihat rumah yang mengapung, rupanya kami telah sampai di danau Tonle Sap setelah mengarungi buntut sungai. Rumah tersebut terbuat dari susunan kayu, beberapa drum kosong diletakkan didasar rumah dan membuatnya mengapung. Ternyata rumah tersebut ditambatkan pada pasak kayu, sehingga tidak pergi kemana-mana. Mereka terlihat menggunakan air keruh danau untuk: mencuci dan mandi. Si guide menjelaskan semua penduduk disini nelayan dan saat ini sedang krisis karena musim kemarau.

"1 dollar, please"

Tiba-tiba ada perahu yang berisi ibu-ibu dan anak kecil kurus kerontang tanpa baju. Ibu tersebut menggandol di perahu kami. "1 dollar," ujaranya dengan tampang melas hampir menangis. Lalu Kak Lila memberinya sejumlah uang dan dia langsung pergi. Si guide menjelaskan perempuan tersebut janda, suaminya meninggal karena banjir bandang yang menimpa tahun lalu. Bersamaan dengan banjir besar-besaran di Thailand. Janda itu tidak memiliki rumah dan hidup didalam perahu.

Pertanyaan retoris yang berkecamuk di kepalaku:
1. Kenapa mereka tidak hidup di darat saja?
2. Bagaimana dengan sistem listrik?
3. Bagaimana pasokan air bersih?
4. Pemerintahnya kemana ini?
5. Uang wisata 25$ masuk ke kantong siapa?
6. Banyak lagi pertanyaan menyedihkan lainnya..

Peminta-minta merubung kapal wisatawan.

Si guide menawarkan untuk berkunjung ke sekolah apung. Kami disarankan untuk menyumbang seadanya dan menambatkan perahu di toko kelontong. Sebentar, kok ada keanehan ya. Seolah semua ini sudah di setting. Tapi yasudahlah hitung-hitung sedekah, pikir kami. Disana harga bahan makanan naik berkali-kalilipat. Kami membeli beras 15kg dengan harga 35$.

Peace and smile:) meski hidup itu tak mudah.

Kami menuju sekolah apung untuk memberikan bantuan beras. Anak-anak kecil seumuran sekolah dasar menyambut kami. Mereka tersenyum ketika kamera kami membidik wajah mereka. Si guide menjelaskan bahwa hampir seluruh anak kecil tersebut tidak memiliki orang tua. Kebanyakan orang tua mereka meninggal saat banjir bandang. Aku mengintari sekolah apung  ini, hanya terdiri: tiga ruang kelas, satu ruang musik dan serbaguna, dapur,dan satu ruang prakarya. Kompor didapur saja masih pakai tungku. Berapakah efisiensinya? pertanyaan spontan di kepalaku sebagai engineer abal-abal :p. Mungkin efisiensinya kurang dari 15%.

Foto bersama di penangkaran buaya.
Perjalanan dilanjutkan ke bangunan yang digunakan untuk toko souvenir, kedai, penangkaran lele, dan penangkaran buaya. Waktu kami kembali ke perahu, peminta-minta sudah mengerubuti perahu lagi. Mereka tak akan melepaskan tangannya dari perahu kami sebelum diberi uang. Sumpah mental orang Cambodia ini peminta-minta atau gimana. Jembatan border dikasih Thailand, tunel anti banjir dikasih Jepang, renovasi Angkor Wat dibiayai India, pembangunan museum Cheung Ek dibantu USA. Semoga mental meminta tersebut tak diteruskan anak cucu mereka. Semoga keturunanya bisa memaksimalkan potensi Kamboja.

Saat turun dari perahu dan menuju taksi, anak kecil berumur 10 tahun menjajakan souvenir piring dengan fotoku. "Lady, you are look beautiful," ungkapnya sambil menunjuk piring. "Only 3$,"rayunya lagi. Okelah kalau yang begini, saya mau mengeluarkan uang. Ini lebih baik daripada hanya meminta-minta. Aku mengeluarkan lembaran 10$. "Stop here!" ujar anak kecil tersebut sambil mengulurkan souvenir dan berlari mencari kembalian.

Hari itu aku mendapat oleh-oleh berharga yaitu renungan dan pentingnya bersyukur. Meski tak ada kegembiraan, rasanya lega bisa hidup seperti sekarang ini. Tambahan, ternyata si Guide yang memandu kami tak memiliki tangan kiri. Dia mendapat kecelakaan saat bekerja. Sehingga tak ada lagi yang mau menerimanya kerja. Padahal Bahasa Inggrisnya fasih dan dia belajar bahasa secara otodidak. Dia berkata "You are lucky got scholarship and study in university," ucapnya dan dia sebenarnya juga ingin memiliki kesempatan belajar seperti kami. Astaga, hidupku ini benar-benar indah. Jangan banyak mengeluh guys!!!

Keep Calm, Hard Work, and Say "Alhamdulillah"

Read More

Kamis, 18 April 2013

Petualangan di Kamboja (1): Sekedar Review (Kamboja dan ASEAN)

Awalnya aku memang berencana mengelilingi ASEAN tahun ini, ternyata rencana ini juga disetujui oleh beberapa teman Indonesia yang berkuliah disini. Rencananya kami akan mengintari negara yang dekat dengan Thailand dan bisa ditempuh dengan jalur darat: Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar. Myanmar merupakan opsi terakhir karena negara tersebut bisa dibilang masih rawan konflik dan terhitung baru tahun ini membuka kesempatan lebar kepada wisatawan asing. Akhirnya dipilih dua negara untuk melangsungkan trip pertama yaitu: Kamboja dan Laos. Vietnam disingkirkan dari daftar dengan alasan negaranya lumayan besar dan berada lebih jauh dari Thailand. Waktu perjalanan sempat tertunda lebih dari sebulan dengan alasan thesis, cultural show, dan lain-lain. Dipilihlah saat liburan Songkran (11-15 April 2013) dengan alasan semua dapat ikut karena saat itu kampus AIT juga libur 2 hari (Jumat dan Senin). Tujuh orang yang awalnya ingin bergabung dalam perjalanan ini, mrotoli menjadi lima orang (Aku, Zjahra, Dini, Putri, dan Kak Lila) dan seorang pengikut dadakan yaitu Odi. Negara yang dikunjungi pun dipilih hanya Kamboja dengan alasan waktu terbatas.

Liburanku di Kamboja tidak semenarik di Chiang Mai,tidak se-eksotis Phi Phi Island, bahkan kalau boleh kubilang, jalan-jalan ke Malang Jawa Timur lebih indah dan menyenangkan daripada ke Kamboja. Tulisan di entri ini akan lebih membahasa komparasi negara ASEAN yang pernah kukunjungi dan hasil diskusi kami berenam.

Pertama kali melihat wajah Kamboja, aku sudah bersiap untuk menerima negara yang lebih terbelakang dari Thailand. Tapi nyatanya ekspektasiku harus lebih diturunkan lagi, Indonesia jauh (sekali) lebih maju. Berikut ini beberapa aspek yang kubahas:

1. Transportasi

Transportasi antar propinsi adalah bis, taksi, dan van. Oya, semua transportasi darat di Kamboja menggunakan setir kiri seperti sistem eropa dan lajur jalan pun kebalikan dari Indonesia. Rasanya kendaraan seperti berada di jalur selip setiap saat. Bis di Kamboja kebanyakan lebih jelek dari Sumber Kencono. Sungguh! Bisnya reyot, jalannya pelan, dan saat kuamati sepertinya beberapa kendaraan dibeli bekas dari China karena aku melihat huruf China yang sudah lapuk di bis. Bahkan tidak ada terminal pasti dimana bis akan datang/pergi, kecuali di Phnom Penh. Sedangkan taksi tidak memiliki tanda seperti layaknya taksi, hanya mobil biasa keluaran tahun lama.  Sedangkan van terbagi menjadi dua yaitu van publik dan van VIP. Van publik bisa diisi lebih dari 16 orang termasuk ngangkut kasur, sepeda motor, dan barang-barang lainnya. Bahkan ada juga orang yang duduk di atap van. Jalan di Kamboja juga parah, didalam kendaraan kayak naik "Tagada". Banyak lubang dijalan dan ada juga jalan yang belum diaspal. Bandingkan dengan Thailand, Malaysia, dan Singapore. Ketiga negara tersebut memiliki transportasi antar propinsi yang nyaman dan terjadwal. Sedangkan untuk Indonesia, ada persebaran yang tidak merata. Misalnya di Jawa, transportasi antar propinsi bisa ditemukan dengan mudah di terminal dan bisa memilih mulai harga murah sampai patas. Beda soal saat pergi ke Irian, mungkin transportasi akan lebih sulit ditemukan.

Van untuk umum.

Sedangkan untuk transportasi dalam kota, Kamboja memiliki tuk-tuk, taksi, dan sepeda motor. Ya, aku sendiri heran mengapa negara ini tak memiliki angkutan umum dalam kota, bahkan di ibukota sekalipun. Bahkan sekali naik tuk-tuk minimal 2$ untuk sekali jalan atau setara dengan Rp 20.000,-.Huwaa bisa bokek gara-gara transportasi. Komparasi dengan Thailand, mereka memiliki transportasi publik dalam kota: bis, MRT, dan BTS. Untuk propinsi kecil, Thailand memiliki songthew dan tuk-tuk dengan harga sewa lebih murah. Sedangkan untuk Malaysia, mereka memiliki transportasi umum MRT, Komuter, Bis, Fast Train untuk transportasi di ibukota. Untuk transportasi di kota lain, mereka menyediakan bis Rapid. Sedangkan Singapore yang negaranya kecil dan makmur, mereka memiliki tranportasi canggih dan terstruktur dalam satu negara. Satu kartu bisa digunakan untuk naik MRT dan bis. Sedangkan di Indonesia transportasi publik di Jakarta meliputi: transJakarta, bis, dan kereta api. Untuk kota kecil, setiap kota pasti memiliki angkutan umum. Semua transportasi publik dalam kota yang dimiliki Indonesia, Thailand, Malaysia, dan Singapore jauh lebih murah daripada naik tuk-tuk di Kamboja.

2. Pertanian

Kata Kak Lila, geografis Kamboja tidak strategis karena bentuk negara ini "bundar" bukan memanjang. Jadi struktur tanahnya pun hampir sama dan juga musimnya. Beda dengan Thailand yang memiliki bentuk bundar dan memanjang. Sehingga mereka memiliki penghasil padi dari utara dan penghasil seafood dari selatan. Malaysia pun sama, negara ini memiliki bentuk memanjang dan terpisah menjadi dua bagian: benua Asia dan pulau Kalimantan. Sedangkan Singapore yang negaranya kecil tidak bergantung pada hasil alam, mereka lebih menonjolkan negara makelar/ ditribusi karena letaknya yang strategis di selat Malaka. Indonesia? Jangan tanya lagi. Kita adalah negara terbesar di ASEAN. Masalah geografis, kita memiliki segala sumber daya alam (pertanian, hasil laut, minyak bumi, gas alam, hasil tambang, dan lain-lain). Kembali lagi ke Kamboja, letak daerah yang seperti itu membuat tanah di Kamboja hampir sama yaitu padang sabana. Sepanjang jalan tidak ada sawah hanya rumput yang hidup segan, mati tak mau dan pohon kelapa atau aren. Pusat pertanian di Kamboja justru di dekat daerah pesisir yaitu Sihanoukville.

Untuk masalah teknologi, aku angkat tangan soal Cambodia karena persawahan hanya kulihat sekilas. Sedangkan teknologi agrikultur di Thailand lebih maju daripada negara ASEAN lain. Mereka lebih meberdayakan teknologi daripada pekerjaan manusia. Engineer cerdas di Thailand ngapain? bertani! Namun dengan bertani dengan teknologi tinggi dan memiliki produk unggulan. Sayangnya, mereka terlalu canggih dan kadang menggunakan bahan kimia yang tidak semestinya. Sedangkan sistem pertanian di Indonesia pernah maju di era 70-90an, lalu turun drastis, dan sekarang sedang berkembang. Di Indonesia lebih mementingkan keamanan dan tidak terlalu banyak yang menggunakan teknologi canggih, terutama di daerah terpencil.
Berdasarkan aspek pertanian, Kamboja memiliki posisi hampir sama dengan Singapore yaitu tidak memiliki hasil alam. Negara ini membeli semua bahan pangan dari negara lain. Hal ini kubuktikan saat belanja di supermarket. Semua barangnya impor dan tentunya harganya lebih mahal daripada di negara asalnya. Hal inilah yang menyebabkan living cost di Kamboja mahal tapi kualitas hidupnya rendah. Bahkan di daerah terpencil, living cost perbulan sekitar 200$. Beda dengan Singapore yang memang living cost-nya mahal namun dibarengi dengan kualitas hidup yang tinggi.

3. Sapi

Kok sapi jadi tolak ukur? Lucu juga sih, tapi begitulah adanya. Jika sapi terlihat gemuk berarti terawat dan daerah tersebut subur, sebaliknya jika sapi kurus artinya tidak terawat dan daerah tersebut tandus. Banyak sapi disepanjang jalan Kamboja bahkan sampai ada papan peringatan lalu lintas bergambar sapi, mungkin artinya "awas sapi!". Melasnya semua sapinya kurus sampai-sampai kelihatan tulangnya! Benar-benar sapi yang tidak layak kurban. Beda dengan sapi gendut-gendut di Indonesia.

4. Karakter Cambodian

Ada yang bilang kalau kebanyakan cambodian atau orang Kamboja itu scam alias penipu. Sebenarnya tidak semua cambodian penipu. Tapi entah kenapa kami apes ketemu orang scam. Mulai dari orang yang pintar berbahasa Inggris di perbatasan, dia memandu kita ke terminal. Ehh ujung-ujungnya minta duit. Supir tuk-tuk yang mengantarkan kita keliling Phnom Penh juga naikkin harga dari persetujuan awal 18$ jadi 27$ karena kita minta diantarkan ke KFC dua kali, ke mall, dan ganti haluan ke Pasar. Padahal jaraknya lo deket banget dan ga bilang kalau dia minta tambahan uang, tahunya saat udah mau bayar.

Pengemis Cambodian juga sangat memaksa. Dia tak akan meninggalkan kita, sampai kita memberi uang. Beda dengan pengemis Thailand yang cuma duduk stagnan. Atau pengemis Indonesia yang tahu sopan santun, saat dia ditolak, dia akan berpindah.

Kehidupan anak kecil di danau Tonle Sap.

Tapi tetap ingat bahwa orang normal itu baik hati bukan penipu atau pengemis. Mungkin kehidupan di Kamboja yang mahal membuatnya memoroti uang turis yang dianggapnya kaya. Padahal kami turis mahasiswa :(.

5.Wisata

Untungnya Kamboja ini punya AngkorWat. Sungguh hanya ini wisata terbaik dan patut dikunjungi. Yang lainnya? No comment. Wisata ke danau Tonle Sap membayar 25$/orang, padahal wisata ke hutan Mangrove Surabaya yang bayar Rp 20.000,- jauh lebih bagus. Wisata pantai di Sihanoukville? Bagus memang, tapi hanya untuk pantai tertentu. Kami beruntung karena saat itu hotel kami memiliki pantai. Saat menengok ke pantai umum, pantainya ramai dan kotor.

Aku rasa soal wisata, Kamboja tidak bisa dikomparasikan dengan Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Singapore. Fasilitasnya saja sudah beda jauh. Apalagi kalau disandingkan dengan Indonesia yang memiliki sejuta pesona. Ambil contoh satu pulau saja: Bali, disana semuanya ada mulai gunung, pantai, danau, seni, budaya, sejarah, dan sebagainya. Sedangkan wisata alam terbaik di Kamboja adalah daerah Sihanoukville, itu terletak di pesisir dan 5 jam perjalanan dari Phnom Penh,

6. Mata uang

Aku sampai pusing membayar disini. Masalahnya mata uang utama negara ini adalah dollar, bukan riel- mata uang negara Kamboja. Bahkan mereka juga menerima mata uang Thailand-Baht, di daerah dekat Thailand. Dan kupikir mereka juga menerima mata uang Vietnam di perbatasan dekat Vietnam.

Pecahan dollar paling kecil adalah 1 dollar, sedangkan mereka memberi kembalian yang lebih kecil dari 1 dollar berupa Riel. 1 dollar=4000 Riel, 1 dollar=30 Baht. Nah loh, bingung kan? Apalagi kalau mereka bermain penukaran uang karena tentunya harga yang mereka beli harus lebih rendah.

Bandingkan dengan negara Thailand (Baht), Malaysia (Ringgit), Singapore (Dollar Singapore), dan Indonesia (Rupiah). Mana ada yang menggunakan US Dollar? Kami bangga dengan mata uang kami. Memang ada pengecualian di daerah perbatasan seperti perbatasan Malaysia-Indonesia di Kalimantan dan daerah turis seperti Bali. Namun tetap saja, orang jualan normal terimanya ya mata uang negara tersebut.

Setelah kupikir, ada alasan mengapa Kamboja memakai Dollar sebagai mata uang utama. Negara tersebut sedang berkembang dan rawan konflik. Sehingga apabila nilai uang asli negaranya (Riel) jatuh, mereka memiliki US Dollar sebagai pen-stabil keuangan. Ruginya, mereka bergantung pada keadaan Amerika. Jika nilai US Dollar jatuh, otomatis perekonomian mereka juga jatuh.

7. Ibukota

Phnom Penh, ibukota negara yang sepi. Hal terindah di Phnom Penh adalah pinggiran suangai Mekhong. Phnom Penh seperti layaknya ibokota propinsi di Indonesia lebih sepi dikit. Kalau boleh membandingkan, Phnom Penh itu 11-12 dengan Tuban lah. Jangan bandingakan dengan Jakarta, Bangkok, Kuala Lumpur, dan Singapore karena perbandingannya terlalu jauh.

Kota ini juga jauh dari kata hedonisme. Mall bisa terhitung dengan jari dan ukurannya kecil. Bahkan gedung pencakar langit juga bisa dihitung. Herannya juga banyak sampah di sepanjang jalan Phnom Penh.


Bukannya aku mau menghina negara ini. Toh gak ada untungnya juga. Apalagi kalau tahu sejarahnya, sekitar tahun 70an, hampir 3 juta orang dibunuh termasuk orang pintar. Jadi saat ini, tak tahu berapa persen Cambodian yang berotak encer. Perjalanan ini mengingatkanku akan pentingnya bersyukur. Aku bersyukur bisa menjadi orang Indonesia. Aku bersyukur bisa sekolah di Thailand. Aku bersyukur bisa menempuh pendidikan.Aku bersyukur memiliki keluarga. Aku bersyukur....bersyukur tentang hidup yang telah diberikan padaku.

Indonesia, memiliki sejuta pesona. Negara besar dengan penduduk yang banyak. Memiliki sekitar 12.000 pulau. Ratusan bahasa dan dialek. Orangnya ramah. Tanahnya subur. Entah kebaikan apalagi yang akan kutuliskan karena terlalu banyak :)

Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. (Sumpah Pemuda)

Tunggu tulisanku di pengalaman perhari di Siem Reap, Phnom Penh, dan Sihanoukville.Juga budget dan tips wisata di Kamboja :)
Read More

© More Than a Choice, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena