a choice that change my life

Rabu, 03 September 2014

Wandering in Karimun Jawa (2): Golden Time

Kapan terakhir kali melihat sunset? Aku: Entahlah. Hariku sebagai job seeker sekaligus freelancer tutor mebuatku bersantai di pagi dan berangkat sekitar jam 3 sore lalu mengajar sampai jam 8 malam. Aku jarang melihat sunset tepatnya. Padahal momen golden time saat sunrise atau sunset adalah momen yang paling kunantikan setiap harinya. Momen yang sebentar itu sakral bagiku karena melihatnya membuatku "hidup" apalagi ditambah suara latar gema adzan Subuh atau Maghrib, suara ayam berkokok atau kicauan burung yang kembali ke sarang. Momen sunset lebih kunantikan karena warnanya yang lebih mentereng ketimbang sunrise, dengan sembur oranye atau pink.  Atas dasar itulah, kupilih kamar kos di lantai teratas yang memiliki jendela menghadap ke timur dan barat untuk menonton pergantian langit namun jarang kusaksikan. Lalu, Karimun Jawa membuatku menikmati kembali momen sakral bersama sunset.


Aku dan Putri berjalan kaki dari homestay ke pinggiran dermaga untuk melihat sunset. Sebelumnya kami sempat menuju ke arah pantai yang lain dan mendapati pantai tersebut sudah kotor oleh plastik, popok bayi, botol, dan lain-lain. Sayang sekali. Setelah itu kami menuju ke arah dermaga yang menghadap ke barat. Matahari masih bersinar terik namun terlihat akan tenggelam. Semakin lama warna langit berubah menjadi oranye. Golden Time. Kebesaran Allah yang mana lagi yang didustakan? *mendadak agamis. Rasanya Alhamdulillah masih diberi kehidupan dan rejeki kesehatan untuk menikmati kebesaran Nya. Aku masih di dermaga hingga matahari benar-benar tenggelam dan sayup-sayup suara adzan Maghrib terdengar dari Masjid. 






Menjelang malam, lapangan bola yang berada di dekat dermaga mulai diisi pedagang dan pembeli. Lapangan bola itu biasa juga disebut alun-alun. Disini semuanya serba mini. Di jalan kulihat kantor pos berupa rumah biasa yang di cat oranye pagarnnya. Ada juga polres yang seukuran rumah dan gedung-gedung pemerintahan lain yang seukuran rumah tanpa tingkat. Kesederhanaan penduduk masih mencolok meskipun derah itu adalah area turis. Aku dan Putri memutuskan untuk makan bersama geng cewek UNAIR dan Mbak Beatrix dari Jakarta di alun-alun. Kita memilih empat ekor cumi segar sepanjang 30 cm untuk dimasak. Semacam 'Layar' (restoran seafood mewah di Surabaya) dengan harga terjangkau sambil menikmati hembusan angin pantai, langit bertabur bintang, kucing yang berkeliaran, dan asap makanan yang dibakar dengan serabut kelapa. Rasanya nikmat!


0 comments:

Posting Komentar

Silahkan dikomen ya... ^^

© More Than a Choice, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena