Sepertinya blogku ini bisa meracuni orang untuk mengikuti jejakku yang sedikit menyimpang yaitu travel, alih-alih kuliah. Sebenarnya gak begitu juga. Kalau ditanya saya niat kuliah? Pastinya. Lantas kok bisa jalan-jalan terus? Bisalah lah jalan-jalannya kan pas weekend. Kecuali saat di Kamboja, itu memang libur hari raya Thailand selama 5 hari. Jadi sama halnya saat kuliah di Surabaya. Bedanya kalau di Surabaya pas weekend, jalan-jalan di Mall. Kalau di Thailand, jalan-jalan ke Bangkok atau sekitarnya. Jadi sama saja kan?
Sebenarnya kuliah diluar negeri itu tak selalu enak (curhat nih ye :p). Acapkali mengerjakan tugas sampai malam. Begadang semalaman sebelum pembimbingan. Di'habisin' saat presentasi. Tapi buat apa toh diceritakan mengharu biru. Malah bikin orang lain yang mau kuliah di luar negeri jadi low motivation. Toh pada akhirnya semua perjuangan menyedihkan itu pasti akan berakhir menyenangkan. Hanya menunggu saatnya saja. "Setiap kesusahan pasti disertai kemudahan"-Al Insyrah.
Maka dari itu, di posting ini kuceritakan hal-hal baru saat kuliah di Thailand (yang menyenangkan =P)
1. Menari di Pentas Seni Welcome Show dan Cultural Show
Aku tak pernah membayangkan menari didepan umum apalagi didepan bule. Nah mau tak mau, ini harus aku lakukan demi membela harkat dan martabat bangsa Indonesia, yaitu tampil di pentas seni AIT sambil membawa nama Indonesia. Pertama kali tampil adalah di Welcome Show dengan tema tari kontemporer ( http://elitachoice.blogspot.com/2012/11/semangat-iwak-peyek-dari-in-do-ne-sia.html ). Kami menyatukan tarian khas Kalimantan dan tarian khas Papua. Meski kalah dari Sri Lanka, kami tetap gembira dapat membawakan tarian dari Indonesia. Video tari: http://www.youtube.com/watch?v=BJt23vPARXA&feature=youtu.be
Kali kedua, entah apes atau memang tidak ada orang lain lagi, aku menjadi bagian dari tari kontemporer di Cultural Show. Kami menggabungkan tarian tradisional Indonesia dengan background lagu Chrisye lalu musik melow semacam China dan dilanjutkan dengan musik country. Persiapan hanya dilakukan selama dua minggu jadi maklum saya kalau hasilnya semacam awut-awutan. Apalagi lagunya tiba-tiba berhenti ditengah jalan pas kami menari. Sialnya waktu lagu itu berhenti, posisinya garis lurus menghadap penonton dan posisiku adalah yang terdepan (maklum paling pendek). Saat aku sadar lagunya mandek, aku cuma bisa meringis senyam senyum ke penonton yang disinari lampu temaram. Dan panitia memutuskan untuk meng cut penampilan pertama kami dan kami akan mengulang penampilan tari sekali lagi. Apes dah. Berikut ini rekaman tari kami: http://www.youtube.com/watch?v=q-_fn59N90I&feature=youtu.be .
aku *hihi :p |
Saingan kami semacam penari profesional |
Hasilnya adalah Taraaa... Kami Juara Runner Up 1!! Sekali lagi: Kami juara Dua dengan tari ancur-ancuran itu. Kami mengalahkan tari kontemporer negara lain. Padahal kami sudah pasrah karena tarian negara lain semacam penari profesional yang ada gerakan salto dan senam lantainya. Apalagi kalau kalian tahu lawan kami dari India. Behh itu kan pusat tarian Bollywood. Tambahan, negara lain juga menonjolkan baju mini semacam tank top transparan dan hot pants. Sedangkan kami perempuan muslim Indonesia, menggunakan sewek batik dan kain kerudung paris yang diikat seadanya.
Hal membanggakan lainnya adalah kami memborong kejuaraan di Cultural Show. Semua sesi yang kami ikuti mendapatkan juara: musik, musik modern, tari kontemporer, dan drama. Oh wow :D INDONESIA!!!
2. Menonton Opera
Awalnya ada email yang masuk ke email AIT kami yang menawarkan mahasiswa AIT untuk nonton Opera gratis di Bangkok. Tanpa pikir panjang Dini, Zjahra, dan aku mengambil kesempatan ini dan mendaftar gratisan. Kami merasa beruntung bisa mendapatkan kursi gratis apalagi saat tahu kalau tiket opera ini biasanya dibandrol sekitar 1000Baht (300 ribu rupiah).
Opera diadakan di gedung central pertunjukkan di Bangkok. Bahkan keluarga kerajaan ada yang menonton opera ini. Wuih saat itu kami merasa seperti artis di film barat, biasanya kan mereka menonton opera. Maklum orang ndeso diajak nonton opera ya gak nyambunglah. Hehe.
Opera yang kita tonton berjudul Otello menceritakan tentang kerajaan Islam didaerah eropa (mungkin Andalusia-Spanyol) yang dikhianati oleh wakilnya sendiri dan membunuh istrinya. Yah semacam Romeo and Juliaet lah. Sepanjang pertunjukkan diisi dengan musik opera yang juara. Cuma aku tak seberapa paham dengan kalimat yang dinyanyikan dengan nada tinggi oleh pemeran. Seusai pementasan, pemeran Opera Otello juga menyambut ramah penonton dan tak segan untuk berfoto bersama kami. At least, kalau ditanya pernah nonton opera? Pernah :D
3. Membuka Wawasan Mengenai Keadaan Negara ASEAN dan Asia
Memiliki teman dari berbagai bangsa dapat membuka wawasan kita mengenai negara lain dan posisi negara kita. Misalnya saja aku kuliah di energi, jurusanku mengadakan field trip keliling Thailand. Aku melihat secara langsung bagaimana negara Thailand mengelola energinya terutama renewable energy. Dosenku juga pernah mengemukakan secara tak langsung bahwa Indonesia adalah "kaya". Beliau mengemukakan saat ini Indonesia masih membeli minyak dari negara lain dan menyimpan cadangan minyaknya. Padahal dalam hati aku bergumam, bukan nyimpen Pak tapi dikelola perusahaan asing. Aku juga terkadang gemes dengan potensi sumber daya alam kita yang besar terutama di energi geothermal. Kita memiliki potensi geothermal kedua terbesar di dunia setelah USA. Namun yang memiliki presentase penggunaan geothermal tertinggi di negara ASEAN malah Filiphina. Apaan ini? Ayo maju engineer Indonesia!! Wake up!!
Negara Thailand yang berada di benua Asia juga memungkinkan aku untuk travel ke negara tetangga seperti: Malaysia, Kamboja, dan Singapore. Sedangkan Laos dan Vietnam masih dalam rencana. Dengan travel seperti itu, aku bisa melihat dan membandingkan negara yang kukunjungi dengan negara tercintaku. Saat berada di Malaysia, aku minder dengan penataan negara tersebut. Bagaimana mengelola sistem transportasinya, pariwisata, keanekaragamaan etnisnya, dan sebagainya. Seakan membuatku berpikir astaga kita tak pantas menghina negara ini karena sebenarnya dalam banyak hal kita tertinggal. Sudah tak usah jauh-jauh lihat saja menara Petronas dan bagaimana perusahaan minyak itu bisa berjaya melebihi Pertamina. Mungkin dendam masa lampau, etnis yang hampir sama, dan sengketa perbatasan membuat kita sensi kepada negara ini. Namun sekali lagi "wake up" kita harus fokus pada tujuan kita. Tak usalah menghina negara lain apalagi lewat media sosial yang tak jelas. Takkan ada ujungnya. Lebih baik bahu-membahu membangun Indonesia dengan profesi kita.
Lain lagi saat aku ke Singapore. Bisa maklum jika negara ini kaya karena negaranya yang mungil dan letaknya yang strategis. Hampir semua pusat perusahaan ternama dunia memiliki kantor di negara ini. Kata temanku yang berkebangsaan Thailand, Singapore akan terancam jika Thailand membangun kanal di sekitar daerah Surat Thani. Seperti halnya terusan Suez, kapal akan memilih jalur yang lebih pendek dari samudra Hindia ke Laut China tanpa harus memutar lewat Singapore (*lihat peta). Jika dibadingkan dengan Indonesia, aku bisa maklum. Dari segi kerumitan pengelolaan Indonesia jauh lebih rumit, negara sebesar Singapore hanyalah sebesar kabupaten di Indonesia.
Sedangkan jika mengunjungi Kamboja. Aku hanya bisa berucap hamdalah. http://elitachoice.blogspot.com/2013/04/petualangan-di-kamboja-1-sekedar-review.html
4. Clubbing di Cultural Show dan Party di Korean House
Ini adalah salah satu hal gila yang pernah kulakukan yaitu clubbing! Sumpah ini gak akan kulakukan di Indonesia. Boro-boro mau clubbing, diskotek aja ga tau ada dimana. Saat itu bertepatan dengan cultural show, terdapat jeda kosong sebelum pembacaan pemenang. Kami, orang Indonesia yang di ruangan tersebut tak tahan dengan sepi berteriak yel-yel Indonesia selama beberapa menit. Tiba-tiba pantia menyalakan lagu ajub-ajub. Jadilah kami menari-nari tak jelas sampai keatas panggung. Kami juga memiliki sahabat yang dekat dengan orang Indonesia, yaitu dari Pakistan,Afghanistan, Prancis, dan Thailand. Semuanya menari mengikuti gerakan kami. Mendadak satu ruangan sebesar GOR mengikuti langkah kami menari-nari. Jadilah semacam Harlem Shake gara-gara ulah kami.
Clubbing tak hanya berhenti sampai Cultural Show. Beberapa minggu setelahnya, kami menyewa Korean House untuk merayakan ulang tahun. Disana kami karaokean di ruangan yang luas dan menari-nari bak clubbing. Bahkan beberapa minggu setelahnya, kami menyewa SU Cafe untuk ajub-ajub. Ketagihan -_-" tapi cara ini memang ampuh untuk melepas stres dari rutinitas campus. Ajub-ajub bersahaja, tanpa alkohol, tanpa rok mini, hanya untuk kalangan sahabat. Dimulai dengan bismillah, makan tumpeng, minum cola, dan diakhiri hamdalah. Itulah clubbing gaya kami.
5. Belajar Slank Word dari Berbagai Negara
Slank word atau kata-kata gaul anak muda semacam c*k dari berbagai negara kupelajari disini. Aku tahu bagaimana mengucapkan "bitch" dalam bahasa Thailand. "Stupid" dalam bahasa Pakistan. Aku juga sempat mengajarkan kata "Kon gendheng" pada Tooba, teman Pakistan. Hihi. Jangan ditiru sodara-sodara.
6. Mengatai Orang Didepan Orangnya
Mentang-mentang orang Indonesia adalah kaum minoritas di AIT dan Thailand. Kami bisa seenaknya ngomong Bahasa Indonesia atau Bahasa Suroboyoan. Bahkan kami ngomongin orang didepan orangnya tanpa kuatir tahu orang tersebut diomongin. Canggih kan :p Misalnya saja "Eh lihaten anak didepanku, kayaknya yang disebelahnya itu pacaranya. Astaga, padahal cantik lho," ucapku pada Zjahra. Yang kumaksud adalah pasangan lesbi, satu meter didepanku saat di bis. Atau saat aku menanya harga baju lalu bilang "Akh iki larang, seng mau luwih murah," di depan penjualnya.
Pernah juga kami ketiban apes gara-gara kemampuan ngomongin orang dengan Bahasa Indonesia ini. Saat itu kami ngomongin anak orang blasteran Asia-Amerika di depan ibunya yang Asia. Kami kira perempuan itu dari Thailand karena matanya sipit. Kami ngomong aja sepuasnya. Eh ndelalah "Orang Indonesia ya mbak? Saya dari Blitar," ucap ibu anak itu, yang kami kira orang Thailand. Kami langsung mengkeret.
Kebiasaan ini juga terbawa sampai eropa. Kami ngomong keras-keras pas di Tunjungan Plaza Surabaya. Sampai temanku Putri sadar "Eh ini bukan di Thailand ya," ucapnya. Kriik.
7. Belajar Fotografi
Seringnya sore hari kuisi dengan belajar fotografi pada Master kamera: Pak Dedi dan Kak Lila. Bersepeda engkol, menikmati alam, dan hunting foto mungkin kegiatan yang kurindukan (halah). Pasalnya dua guru fotografiku ini sudah lulus bulan ini.
Tak jarang kami memalak dengan halus orang dari negara lain untuk dijadikan model. Misalnya saja perempuan cantik dari Nepal. Untungnya mereka berbaik hati mau dijadikan model, padahal model disuruh gelundungan di rumput, loncat-loncat, sampai manjat pohon.
Tooba, model Pakistan =P |
Namun aku lebih senang memfoto kembang atau pemandangan ketimbangan model. Pasalnya kalau hasil fotonya jelek, fotografer ikut andil didalamnya. "Kalau hasil foto jelek ya salahkan modelnya yang memang jelek," ujar Pak Dedi yang memiliki keyakinan lain =_=
8. Merasakan musim dingin, semi,dan panas (meskipun dengan dosis rendah)
Kami datang ke Thailand pada saat musim hujan. Jadi tak kurasakan ada perbedaan cuaca antara Indonesia dan Thailand. Hanya saja matahari yang muncul lebih siang sekitar jam 6 pagi dan tenggelam lebih malam sekitar jam setengah tujuh malam. Namun saat bulan Desember sampai Januari kurasakan perbedaanya. Suhu tiba-tiba turun drastis. Aku yang masuk kuliah jam 8 pagi berangkat bersepeda di pagi yang berkabut. Bahkan kipas angin yang tak pernah jauh lebih dari satu meter, mendadak menjadi musuh dan tak pernah dinyalakan. Jendela dan gorden selalu kututup. Saat kulihat ramalan cuaca di hp menunjukkan suhu berkisar 18-28 derajat. Pantesan!
Lain lagi saat bulan Februari. Rasanya musim semi mengelilingi kampus. Bunga pink bermekaran dimana-mana. Serasa di negara Sakura. Cantik. Kami tak menyia-nyiakan momen itu untuk berfoto. Haha
Sedangkan saat bulan Maret dan April rasanya pengen keluar dari Thailand. Panasnya minta ampun. Suhu sekitar 35 derajat, suhu terpanas bisa mencapai 40 derajat. Bahkan pada malam hari sekitar 38 derajat. Kipas angin selalu menyala saat aku berada di kamar. Bahkan jika aku tak tahan di kamar, aku mengungsi ke kamar Tooba yang ada AC nya. Tambahan lagi, tiap malam aku bisa nongkrong di depan 108 (semacam seven eleven) untuk membeli es krim dan memakan diluar tanpa kedinginan bahkan masih terasa sumuk.
9. Meng Improve Bahasa Tubuh
Jujur saja aku tak bisa berbahasa Thailand selain menanyakan harga dan angka. Tak masalah jika orang yang kuajak bicara bisa berbahasa Inggris. Namun kebanyakan tidak bisa berbahasa Inggris dan aku tak bisa berbahasa Thailand. Jadilah menggunakan bahasa universal yang diketahui semua penduduk di dunia yaitu bahasa tubuh atau bahasa gambar. Misalnya saat itu aku dan Tooba makan di restoran. Dia ingin tissue dan berkata "Can you give me tissue" ujarnya. Pelayannya ga ngeh. Aku langsung bilang "Tissue," sambil menunjuk kotak tissue di meja sebelah. Sampai Tooba heran kenapa orang Thailand paham denganku namun tak paham dengannya padahal kami sama-sama menggunakan Bahasa Inggris.
Lain waktu kami menanyakan dimana lokasi Dusit Palace ke orang. Kami menyebut Dusit Palace gak paham. King Rama V gak paham. Akhirnya kami menunjukkan gambar Dusit Palace di hp kami dan orang tersebut baru paham. Memang di Thailand, satu tempat bisa jadi memiliki dua nama yaitu nama dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Thailand. Jadi siapkan saja foto yang nantinya berguna seperti foto tempat wisata yang dituju, gambar seafood, label halal, gambar mushala, dan lain-lain.
10. Mencoba Makanan dari Beberapa Negara
Pergi saja ke kantin disekitar AIT, kalian bisa menemukan masakan Thailand-Eropa-India-Pakistan-Kamboja-Vietnam-Laos-Myanmar. Rasanya ya ada yang cocok ada yang nggak. Misalnya saja masakan khas India, penuh dengan kare dan minyak. Masakan khas Pakistan menggunakan kacang-kacangan yang dihaluskan menjadi bubur. Sebenarnya masakan yang paling cocok dengan lidah ya masakan Thailand.
Terlebih lagi saat even International Food Fair. Wuihh coba dan rasakan masakan dari banyak negara dan yang memasak pun chef asli dari negara tersebut.