Sekitar jam tiga pagi dini hari, kami berenam (Aku, Dini, Putri, Zjahra, Kak Lila, dan Odi) sudah bersiap di depan toko 108 sambil terkantuk-kantuk. Sekitar lima belas menit kemudian, van yang akan membawa kita ke Aranyaprathet datang. Lalu van ini berputar-putar dahulu di daerah Taladthai untuk menjemput penumpang lain. Perjalanan ke perbatasan memakan waktu sekitar 5 jam. Kami diturunkan di dekat pasar border. Setelah tanya kesana-kemari, ternyata kami harus berjalan kaki sekitar 50 meter ke kantor perbatasan. Saat itu terlihat antrian panjang di jalur foreigner. Tapi entah kenapa petugas malah menyuruh kami untuk mengantri di jalur Thailand yang kosong saat tahu kami memegang paspor Indonesia.
Setelah keluar dari kantor imigrasi Thailand, kami berjalan melewati jembatan. Lalu ambil jalur sebelah kanan dan berjalan sekitar 50 meter ke kantor imigrasi Kamboja. Saat kami kebingungan, ada pria berkemeja rapi yang menyapa kami dan menerangkan dengan bahasa Inggris bagaimana memproses imigrasi disana, sedangkan orang tersebut juga spertinya akan masuk ke Kamboja. Setelah kami berenam selesai menstample paspor, orang berbaju rapi tadi menjelaskan bahwa ada shuttle bus gratis ke terminal Poipet. Kami naik bus tanpa pikir panjang. Sepanjang perjalanan hanya terlihat jalanan beraspal yang berdebu.
Kami turun di terminal bis Poipet dan berputar di terminal untuk mendiskusikan bis mana yang akan berangkat ke Siem Reap. Tiba-tiba ada Bapak berpakaian rapi lain yang berbincang dengan bahasa Inggris fasih. Dia menawarkan harga 9$/orang dengan naik taksi untuk menuju Siem Reap. Beberapa teman tanpa pikir panjang mengiyakan harga tersebut dengan alasan harga tersebut sama dengan harga tiket bis ke Siem Reap. Namun saat kulirik loket penjualan tiket, harusnya satu taksi seharga sekitar 48$, jika kita berenam artinya sartu taksi 9$x6= 54$. Sudahlah yang penting sampai, pikir kami. Meski harus berdusel-dusel di dalam taksi sedan yang diisi tujuh orang plus supirnya. Ehh saat kami mau naik, orang berpakaian rapi yang mengantarkan kami dari perbatasan tiba-tiba minta tips. Asem ternyata dia semacam guide. Akhirnya Putri menyodorkan uang 100 Baht.
Perjalanan Poipet-Siem Reap sekitar 3 jam. Aku duduk di kursi depan bersama Kak Lila. Tak ada pemandangan menarik sepanjang jalan. Hanya dataran tandus dengan hiasan secuplik pohon kelapa atau aren dan sapi kurus. Saking banyaknya sapi, ada tanda lalu lintas berwarna kuning dengan gambar sapi warna hitam. Kurang lebih artinya "Awas sapi". Tanda yang aneh, mungkin sapi disini saking depresinya ga ada rumput segar memilih mati bunuh diri dengan cara menabrakkan diri di jalan raya. Suhu hampir sama dengan Thailand yaitu panas pol-polan apalagi saat itu bulan April termasuk musim panas.
Siem Reap, termasuk salah satu "kota besar" di Kamboja ternyata sebatas desa di Indonesia. Sungguh. Bedanya banyak hotel bagus berjajar di jalan. Namun ya itu tadi, ini mirip kecamatan di Indonesia. Jalanannya sempit, berdebu, dan tidak terlalu ramai. Tiba-tiba taksi tanpa tanda "taksi" ini berhenti dan ganti supir. Supir baru kami pandai berbahasa Inggris dan menjelaskan bahwa supir sebelumnya adalah kakaknya. Dengan kelihaiannya dia menawarkan hotel-hotel dan transportasi di Siem Reap. Sedangkan kami sendiri sudah booking hotel di Home Sweet Home. Bahkan pemilik hotel meng-email padaku untuk menawarkan jemputan gratis didalam kota.
Akhirnya kami sampai di hotel Home Sweet Home dan kami sepakat untuk menyewa taksi di hari itu. Supir taksi menawarkan pada kami untuk berwisata ke danau Tonle Sap. "Very beautiful there, you can see the biggest lake in ASEAN," hasut si supir. "How much?" tanya Kak Lila. "25$," jawabnya. Ulala, mahal amat pikirku. Tapi beberapa teman sudah sepakat untuk ke danau Tonle Sap. Sebenarnya ini bergeser dari rencana awal yang langsung ke Angkor Wat, alasannya situs tersebut tutup jam 5.30 sore sehingga kita rugi di tiket.
Perjalanan ke Tonle Sap memakan waktu sekitar 15 menit. Kami melihat rumah khas pesisir disepanjang jalan, yaitu rumah yang melayang alias rumah panggung. Kami bingung, sebenarnya dimanakah pantainya? yang terlihat hanya cekungan bekas sungai.
Perahu yang membawa wisatawan ke danau Tonle Sap. |
Perjalanan ke tengah danau Tonle Sap sekitar satu jam dari tempat pemberangkatan. Pemandangan yang kulihat hanyalah sungai dangkal berwarna teh susu keruh dan tanah agak tinggi di kanan kiri. Kulihat segelintir nelayan melempar jaring dari pinggir sungai. Masa iya ada ikan di sungai teh susu ini, pikirku. Tak ada yang menarik, bahkan wisata Mangrove di Surabaya jauh lebih bagus. Sedih.
Iseng kulihat keterangan di tiketku. Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara. Ternyata danau Tonle Sap ini dihuni hampir 2 juta orang. Semuanya berprofesi sebagai nelayan. Jika musim hujan level air bisa mencapai 12-20 meter, sedangkan jika musim kering hanya 1-2 meter. Pertanyaanku tentang rumah panggung terjawab, ternyata daerah ini dipenuhi air jika musim penghujan. Di tengah danau Tonle Sap, terdapat banyak rumah apung. Rumah tersebut bisa pindah kemana-mana sewaktu-waktu. Berarti tiap pagi orang yang tinggal disana harus mengecek dimanakah mereka sekarang, jangan-jangan udah sampe lautan.
Rumah di danau Tonle Sap. |
Tiba-tiba ada perahu yang berisi ibu-ibu dan anak kecil kurus kerontang tanpa baju. Ibu tersebut menggandol di perahu kami. "1 dollar," ujaranya dengan tampang melas hampir menangis. Lalu Kak Lila memberinya sejumlah uang dan dia langsung pergi. Si guide menjelaskan perempuan tersebut janda, suaminya meninggal karena banjir bandang yang menimpa tahun lalu. Bersamaan dengan banjir besar-besaran di Thailand. Janda itu tidak memiliki rumah dan hidup didalam perahu.
Pertanyaan retoris yang berkecamuk di kepalaku:
1. Kenapa mereka tidak hidup di darat saja?
2. Bagaimana dengan sistem listrik?
3. Bagaimana pasokan air bersih?
4. Pemerintahnya kemana ini?
5. Uang wisata 25$ masuk ke kantong siapa?
6. Banyak lagi pertanyaan menyedihkan lainnya..
Si guide menawarkan untuk berkunjung ke sekolah apung. Kami disarankan untuk menyumbang seadanya dan menambatkan perahu di toko kelontong. Sebentar, kok ada keanehan ya. Seolah semua ini sudah di setting. Tapi yasudahlah hitung-hitung sedekah, pikir kami. Disana harga bahan makanan naik berkali-kalilipat. Kami membeli beras 15kg dengan harga 35$.
Kami menuju sekolah apung untuk memberikan bantuan beras. Anak-anak kecil seumuran sekolah dasar menyambut kami. Mereka tersenyum ketika kamera kami membidik wajah mereka. Si guide menjelaskan bahwa hampir seluruh anak kecil tersebut tidak memiliki orang tua. Kebanyakan orang tua mereka meninggal saat banjir bandang. Aku mengintari sekolah apung ini, hanya terdiri: tiga ruang kelas, satu ruang musik dan serbaguna, dapur,dan satu ruang prakarya. Kompor didapur saja masih pakai tungku. Berapakah efisiensinya? pertanyaan spontan di kepalaku sebagai engineer abal-abal :p. Mungkin efisiensinya kurang dari 15%.
Foto bersama di penangkaran buaya. |
Saat turun dari perahu dan menuju taksi, anak kecil berumur 10 tahun menjajakan souvenir piring dengan fotoku. "Lady, you are look beautiful," ungkapnya sambil menunjuk piring. "Only 3$,"rayunya lagi. Okelah kalau yang begini, saya mau mengeluarkan uang. Ini lebih baik daripada hanya meminta-minta. Aku mengeluarkan lembaran 10$. "Stop here!" ujar anak kecil tersebut sambil mengulurkan souvenir dan berlari mencari kembalian.
Hari itu aku mendapat oleh-oleh berharga yaitu renungan dan pentingnya bersyukur. Meski tak ada kegembiraan, rasanya lega bisa hidup seperti sekarang ini. Tambahan, ternyata si Guide yang memandu kami tak memiliki tangan kiri. Dia mendapat kecelakaan saat bekerja. Sehingga tak ada lagi yang mau menerimanya kerja. Padahal Bahasa Inggrisnya fasih dan dia belajar bahasa secara otodidak. Dia berkata "You are lucky got scholarship and study in university," ucapnya dan dia sebenarnya juga ingin memiliki kesempatan belajar seperti kami. Astaga, hidupku ini benar-benar indah. Jangan banyak mengeluh guys!!!
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan dikomen ya... ^^