a choice that change my life

Sabtu, 08 November 2014

Extend Visa ke Laos (3): Terburu-buru di Vientiane


Hari minggu, di luar negeri, dan bersama teman adalah perpaduan yang sempurna untuk menikmati perjalanan. Tapi perpaduan itu tidak berlaku bagi kami berempat: aku, Sani, Umi, dan Faishal. Meski badan kita ada di Laos tapi pikiran kita tetap di thesis. Bahkan kami semua tidak membawa baju ganti layaknya traveling. Bahkan bisa dikatakan ini bukan traveling karena kami menikmati Laos hanya empat jam. Malah membawa peralatan sekolah. Faishal dengan tab nya. Umi dengan flash disk berisi revisi thesis. Aku dengan laptop putihku. Sani dengan laptop dan ratusan halaman buku thesisnya.

Kami sampai di terminal Thanaleng Laos sekitar jam 10:00 pagi lalu mengantri di bagian imigrasi Laos. Ternyata Laos baik hati lho, negara itu memberikan visa turis gratis pada sesama negara Asean selama satu bulan termasuk lewat darat. Jadi pada paspor kami, visa Laos berlaku sampai tanggal 6 Januari 2014 (saat itu 8 Desember 2013). Sedikit menyesal juga kita hanya menggunakannya selama setengah hari hanya untuk mengunjungi ibukotanya- Vientiane. Padahal aku sudah mupeng banget pengen ke Veng Vieng dan Luang Prabang yang fantastis itu. Apa daya waktu tak cukup.

Kami masih harus oper van lagi dari stasiun Thanaleng ke pusat Vientiane dengan perjalanan sekitar 20 menit. Van menurunkan penumpang di sekitar perempatan dan disana kami menyewa tuk-tuk sampai jam tiga sore. Pertimbangan waktu itu didasarkan dengan perhitungan waktu balik ke Thanaleng, lalu kereta Thanaleng-Nong khai, dan kereta Nong Khai-Bangkok berangkat jam 18:00. Kami sudah membeli tiket kereta Nong Khai- Bangkok dengan empat sleeping seat pagi hari tadi. Jadi waktu bersih jalan-jalan di Laos hanya empat jam! Ini perjalanan keluar negeri yang paling gila.

Sebagai tour leader yang baik, aku sudah mendaftar destinasi wisata Vientiane. Pada saat itu setidaknya aku sudah menyiapkan 8 destinasi yang lalu kucoret satu persatu karena waktu yang mepet. Lao National museum karena sepertinya mbayar. COPE Visitor Center atau museum bom, destinasi ini punya rate paling tinggi di Trip Advisor. Sebenarnya aku penasaran dengan COPE tapi melihat tampang teman-teman (termasuk aku) yang sumpek thesis, kucoretlah destinasi ini. Aku tak mau semakin sumpek gara-gara mengunjungi wisata sedih. Akhirnya kupilih destinasi yang must see di Vientiane yaitu Pra That Luang dan Patuxai.

Tuk-tuk di Laos sedikit berbeda dengan tuk-tuk di Thailand. Di Laos, tempat duduk penumpang mirip tempat duduk dokar, saling berhadapan dan bisa diisi empat orang. Kami mebayar supir tuk-tuk dengan baht- mata uang Thailand. Ternyata kota ini menerima tiga jenis mata uang yaitu Kip-mata uang Laos, Baht-mata uang Thailand, dan Dollar tentu saja. Bahasa yang digunakan juga hampir sama dengan Thailand. Jadi orang Laos dan Thailand bisa berkomunikasi dengan bahasanya masing-masing dan keduanya saling paham. Sama halnya dengan orang Indonesia yang berkomunikasi dengan Malaysia dan Brunei dengan bahasa masing-masing tapi saling paham.

Pra That Luang adalah simbol negara Laos. Awalnya pagoda ini dibangun untuk agama Hindu lalu diakusisi menjadi Budha. Pertama kali yang dilihat disana adalah pisang bakar. Kriik,,, entah kenapa Umi masih saja lapar saat itu dan yang lain ikut-ikutan saja jajan. Aku yang saat itu menjadi sie bendahara langsung membeli pisang bakar 20 baht dan dapat satu kresek.

Sani dan Pra That Luang.

Pengunjung Pra That Luang yang lain.

Disekitar Pra That Luang sperti komplek pagoda. Di dekatnya terdapat budha tidur, lapangan luas, dan dua bangunan khas Laos. "Ayo masuk kayaknya gratis," ujarku pada yang lain. Ternyata waktu sudah masuk, kakek-kakek penjual souvenir di depan pintu depan bilang "ticket ticket," ujarnya sambil mengelurakan karcis. Baru kali ini kulihat ada penjaga tiket merangkap jualan souvenir ala kaki lima. Di dalam Pra That Luang hanya ada stupa yang berwarna emas,beberapa orang terlihat 'thawaf' mengelilingi stupa.

Penampakan Pra That Luang dari dekat.

'Thawaf' di Pra That Luang.

Tujuan berikutnya adalah Wat dengan budha tidur raksasa. Disana kita foto-foto sambil menghindari anjing yang sedang tidur-tiduran. Jujur aku trauma akan anjing sejak insiden digigit anjing pas lagi lari pagi.

Anjing tidur-tidurandi depan Wat.

Sekilas info: Diterkam Anjing

Dulu pas sedang lari pagi untuk latihan marathon, aku nekat lari sendirian dengan rute sampai kampus sebelah. Pada jam setengah enam pagi keadaan sepi. Dari kejauhan aku lihat sekelompok anjing. Mereka melihatku juga. Matekk. Kalau balik nanggung, jadi kuhindari tatapan mereka dan aku macak jalan kaki dengan santai. Kelompok anjing satu terlewati.

Baru jalan beberapa langkah, kelompok anjing dua sudah mengintai. Tatapan mata kita bertemu dari jarak sekitar 100 meter. Matekk lagi dan mau balik juga takut kena geng anjing pertama tadi. Jadi kulakukan seperti sebelumnya yaitu jalan santai dan mengalihkan tatapan. Sialnya kepala geng kelompok anjing dua menggonggong memberi sinyal pada kawanannya "Gukk Gukk". Lantas semua anjing yang jumlahnya lebih dari lima itu menggonggong, khafilah(aku) berlalu.

Sial dua belas, mereka lari menuju arahku. Ini pertaruhan hidup dan mati, ada dua pilihan: tetap di tempat atau lari. Akhirnya kupilih pasrah dan tetap di tempat.Kawanan anjing itu telah berada di dekat kakiku. Rasanya seperti scene film Twilight dimana adegan serigala menerkam mangsa. Anjing itu adalah kawanan serigala dan aku mangsa satu-satunya. Dari kejauhan kulihat ada orang bersepeda, aku melambaikan tangan dan berteriak "help help". Tapi orang tersebut hanya melihatku dan melanjutkan bersepeda dengan santai.

"Hauk haukk,,,," aku merasakan anjing telah menggigit kakiku. Setelah menggingit, kawanan anjing itu berbalik ke tempatnya. Aku melangkah gontai kembali ke asrama. Di kamar aku menangis sejadi-jadinya. Padahal saat kulihat bekas gigitan anjing itu hanya sebatas luka lebam ungu dan biru, tidak sampai masuk ke daging. Tapi trauma diterkam gerombolan anjing itulah yang membuatku takut. "You are lucky, normally dog will ripped your skin until your meat," ujar temanku Thai. Sejak itulah aku semakin trauma dengan anjing.


Sorry, kembali ke Laos. Setelah menghindari anjing yang sedang tidur, kami keluar dari Wat itu dan menju ke penjaja souvenir disekitar sana. Ternyata souvenir di Laos harganya sama seperti di Thailand, malah beberapa barang harganya lebih murah. Kupilih sarung ala Laos berwarna merah tua dengan bordiran yang khas dan satu pajangan meja. Umi seperti biasa, hemat dan tidak membeli apa-apa. Faishal hanya membeli beberapa barang. Sedangkan Sani seperti biasanya, dia akan membeli banyak barang.

Pemandangan Pra That Luang dari Wat sebelah.

Patung budha di dalam Wat.

Ukiran di dinding Wat.

Aku dan budha tidur.

Ornamen pada langit-langit Wat.

Selanjutnya kita berfoto-foto di bangunan ala Laos di dekat sana. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang ada di dalam, tapi jam sudah menunjukkan pukul 12:30 dan kami semua belum makan siang. Sebelum kembali ke tuk-tuk, kami membeli es krim kota dari paman es ting tong.

Sani dan Umi di bangunan ala Laos.

Bangunan khas Laos.

Tampak jauh,

Makan es krim ting tong.

Kami susah menjelaskan ke supir tuk-tuk bahwa kami ingin makan "halal bukan babi". Kami mejelaskan makan dengan bahasa tubuh seakan-akan memegang garpu sendok dan piring. "KFC khun," ujar Umi. "or McDonald," tambahku. "Cheap cheap," kata Sani. Khun tuk tuk semakin bingung karena di Laos memang tidak ada KFC atau Mc Donald tapi dia mengerti bahwa kami kelaparan. Tuk-tuk berhenti di salah satu warung pinggir jalan. Tapi disana ada gambar babi. Kontan saja kami berteriak "Nooo..next".Setelah berputar-putar, khun tuk-tuk itu menyerah dan membiarkan kami memilih restoran sendiri. "This this yut yut stop," ujarku melihat restoran mentereng bertuliskan "Seafood". Untung saja jalanan di Vientiane sepi seperti di desa jadi kalau mau putar balik atau melanggar arus lalu lintas bukanlah suatu masalah.

Jalanan Laos.

Jalanan Laos yang sepi.

"Kita lo pengen hemat malah makan di restoran besar gini," ujar Sani saat melihat bangunan restoran yang mentereng besar berwarna merah dan bertingkat. "Gimana lagi yang lain ga jelas san," kataku. "Yoweslah gak papa. ayo masuk," kata Umi. Faishal ngikut aja. Masuk kedalam, interior mewah semakin terasa dengan banyaknya hiasan oriental. Kami disambut pelayan dan diminta menempati kursi di lantai tiga. Hal yang paling melegakan adalah melihat menu dengan tulisan bahasa Inggris!! Ada gambarnya lagi! Sialnya tulisan harganya dalam mata uang kip yang nol nya ada banyak dan kami kesulitan mengkonversinya ke baht.

Kelaparan. Tanpa ambil pusing konversi mata uang, empat penjelajah segera memesan makanan. Kami memilih empat air putih, empat nasi, satu tom yam, cumi tumis, dan cumi tepung. Umi bertugas membagikan lauk yang jumlahnya terbatas dengan adil ke masing-masing piring. Kami makan dengan lahap. Sesekali terlontar kata enak ya kayak masakan Thailand persis. Tapi di dalam hati kami was-was ini habis berapa makan di restoran mewah kayak gini.

Saat bill datang, kami berempat was-was. Kami sudah berspekulasi tingkat tinggi dan membayangkan harga makanan tadi bisa saja kalau di uangkan beratus ratus ribu rupiah. Bill datang dengan tiga mata uang tertulis sekian kip, sekian ratus baht, dan sekian dollar. Aku langsung melihat ke tulisan "empat ratus sekian" baht (sekitar 120 ribu rupiah). Ealahh kecil... (gaya banget). Harga itu termasuk murah untuk ukuran restoran mewah. Malah lebih mahal makanan di kereta tadi pagi. Ada sedikit penyesalan saat meninggalkan restoran, tahu gitu tadi kita mesen lauk lebih banyak.

Perjalanan dilanjutkan ke Patuxai. Sepanjang perjalanan kulihat dua bendera yaitu bendera Laos dan bendera komunis gambar parang dan arit. Ternyata Laos PDR (People's Democratic Republic) beraliran komunis. Jadi ceritanya dulu itu di Laos ada 2 kubu: Pathet Lao dan Kerajaan Lao. Laos yang dekat dengan Vietnam ikut terseret perang Vietnam dengan Amerika Serikat. Kubu Pathet Lao yang beraliran komunis menempati bagian utara dan mensuplai senjata ke Vietnam bagian utara. Lalu tentara Vietnam membantu Pathet Lao untuk menggulingkan kerajaan Lao dan mengambil alih kekuasaan negara.

Bendera Laos dan komunis dipajang bersamaan.
AS ikut membantu kerajaan Lao untuk memerangi Pathet Lao dengan mengebom beberapa tempat. Hal yang mengerikan adalah sampai tahun 2008, Laos merupakan negara yang paling banyak di bom per capita. Pada tahun 1964-1973,rata-rata bom yang dijatuhkan di Laos adalah delapan menit sekali full selama 24 jam non stop. Mengerikan! Tapi pada akhirnya pemenangnya adalah Pathet Lao yang didukung tentara dari Vietnam dan Uni Soviet. Makanya sampai sekarang Laos tetap memegang ajaran komunis dan memasang bendera merah parang arit dimana-mana.
Patuxai.

Patuxai.

Tuk-tuk berhenti di destinasi wisata terakhir yaitu Patuxai. Ini adalah Arc The Triumph Perancis versi KW 2 dengan modifikasi simbol khas Laos. Katanya bangunan ini dibangun karena telah merdeka dari Prancis. Ironi, telah merdeka tapi malah membangun bangunan khas negara penjajahnya. Patuxai seperti alun-alunnya Vientiane karena letaknya ditengah kota dan dipinggir Patuxai terdapat taman yang luas lengkap dengan air mancurnya. Di pinggir taman ini terdapat gong perdamaian yang diberikan oleh Indonesia kepada Laos. Pokoknya kalau ada hal postif yang berhubungan dengan Indonesia di negeri orang itu rasanya sangat membanggakan.

Bersantai di dekat Patuxai.

Bukti pernah ke Laos :p

Bagian bawah Patuxai.

Detail Patuxai.

Umi bergaya superman.

World Peace Gong dari Indonesia.

Tur berakhir tepat pukul tiga sore dan supir tuk-tuk mengembalikan kami ke perempatan tadi. Ini adalah tur tergila. Cuma empat jam dan mengunjungi hanya dua destinasi wisata. Cukuplah kalau ditanya orang "Pernah ke Laos?", "Pernah dong". Padahal pas di Laos ga kemana-mana. Tapi cukuplah perjalanan empat jam itu memberikan pesan moral berharga bagi kami. Pesan moral: Selesaikan thesis kalian tepat waktu.

Wajah gembira saat dapat van murah ke Thanaleng (250 baht all).

Kami kembali menaiki van ke stasiun Thanaleng. Kami mendapat jadwal kereta Thanaleng-Nong Khai jam 17:00. Kami pergi ke imigrasi untuk di cap stempel "departure from Lao" tertanggal 8 Desember, tanggal yang sama dengan kami datang ke Laos. Aku mengisi waktu kosong dengan bermain kucing di stasiun itu. Saat kereta datang, kami berempat bergegas naik ke kereta. Kereta kembali melewati jembatan persahabatan diatas sungai Mekong. Ternyata senja menyambut di sungai Mekong. Matahari terbenam saat itu dan menampakkan cahaya oranya di atas sungai Mekong. Indahnya...

Bermain kucing sambil menunggu kereta berangkat.

Sani juga ikut main kucing.

Faishal juga ikut foto dengan kucing.

Bye-bye Lao.

Ayo berangkat!

Senja di sungai Mekong.

Kereta memasuki daerah Thailand dan ditandai dengan pasar malam di pinggir jalan. Sesampai di stasiun Nong Khai, kami segera menuju ke imigrasi Thailand. "23 Desember 2013" aku megulang tanggal itu berkali-kali di doaku saat petugas akan mencap pasporku. Bukan apa-apa, aku cuma berharap visa turisku di Thailand sampai tanggal 23 Desember karena tepat pada tanggal itulah aku akan pergi ke Myanmar. Ternyata petugas imigrasi mencap pasporku tertanggal "22 Desmber 2013". Arrkhhhh............meleset! Rasanya galau kudu nangis. Pastinya aku harus overstay di Thailand selama sehari. Selama ini aku tidak pernah membuat catatan kriminal apapun. Aku takut kalau aku overstay akan dimasukkan ke penjara dan dideportasi karena ini sudah masuk ranah hukum antar negara. Sebenarnya kekhawatiranku saat itu lebay dan tidak beralasan karena pada kenyataanya overstay 24 jam di Thailand tidak akan dikenakan biaya apapun.

Kereta jurusan Nong Khai-Bangkok berangkat sekitar pukul enam sore. Aku satu bangku lagi dengan Sani. "Gimana thesismu san?" tanyaku mengingatkan. "Cuma sempat betulin spelling nya," jawab Sani sambil membuka laptop. TUK (Tolak Ukur Kesusksesan) perjalanan ke Laos tercapai yaitu untuk extend visa, mendapatkan ijin dua minggu tinggal di Thailand. Selanjutnya masih banyak hal yang menungguku yaitu revisi thesis dan wisuda. Pesan tidak bermoral yang terakhir: kerjakan thesis 'tepat' waktu dan kalian akan 'keluar negeri' hanya untuk menyelesaikannya. Do you know what I mean? :)

1 komentar:

  1. Salut, keren banget ceritanya,.....lihat dari logadnya orang jawa ya?? jawa mana kak :)

    BalasHapus

Silahkan dikomen ya... ^^

© More Than a Choice, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena