a choice that change my life

Rabu, 03 Agustus 2011

Ramadhan Berbeda di Bali

Tak ada lagi Ramadhan khas mahasiswa seperti tahun-tahun kemarin. Teringat lagi saat melakoni peran Para Pencari Takjil di daerah ITS dan sekitarnya. Setiap menjelang maghrib, aku dan teman kosku langsung tancap gas ke masjid-masjid dengan suguhan makanan berbuka. Tak tanggung-tanggung, PJK juga dibuat, kapan ke Masjid A, Masjid B, Masjid C, atau restoran. Pilihan masjid bermacam-macam mulai dari yang sekelas Asrama Haji sampai Masjid Gang Keputih. Favorit kami adalah Masjid Mulyosari, kalau sedang beruntung bisa mendapat buah kurma, gorengan, nasi bungkus, dan es segar. Lumayanlah uang bulanan jatah makan buka bisa buat makan enak atau membeli baju lebaran. Shalat tarawih pun bisa memilih mau yang versi cepat sampai versi lambat. Lebih ekstrim lagi kalau lagi di rumah. Jalan dua langkah sudah mushala, jadinya baru wudhu di rumah saat bacaan Al-Fatihah rakaat pertama akan berakhir (Dasar!).

Ramadhan kali ini berbeda,serasa tanpa suasana puasa. Tak ada lagi bacaan Qur'an tiap menjelang maghrib atau setelah tarawih. Tak ada lagi bunyi sirene dari masjid Jami Gresik yang menandakan waktu berbuka. Bahkan tak terdengar suara adzan. Patokan berbuka adalah jadwal jam dari departemen agama.  Iya kalau jamnya disini akurat dan presisi, lha kalau ga ya WAllahu alam...

Minggu malam, tergesa-gesa kuambil mukena dan kumasukkan ke dalam tas. Semenit lalu, baru aku tahu departemen agama di Bali mengesahkan besok adalah mulai puasa. Kunyalakan sepeda motorku menuju mushala untuk pertama kalinya. Buset ternyata jaraknya lumayan jauh sekitar 1 km kurang dan masuk gang sempit nan gelap. Mushalanya juga tidak seperti mushala cuma ruangan terbuka beratap yang diiisi oleh orang shalat. Tak ada pajangan elegan seperti mushala di kampungku. Tak ada rak sarung dan sajadah. Bahkan tak ada tempat imam dan pengeras suara. Benar-benar ilegal. Awalnya sempat kukira ini perkumpulan sesat atau apa (bentuknya itu lhoo)..
"Kok mushalanya aneh?," tanyaku pada Maya, anak Pakdenya temenku si Fatma
"Iya bentuknya ga dimiripin mushala soalnya dulu sempat dilarang untuk membangun mushala di daerah ini yang mayoritas non muslim," jawabnya.
wooooo ternyata bukan aliran sesat...

"Lha kenapa kok shalatnya ga di depan perumahan aja?malah milih disini, kan jauh," tanyaku lagi
"Mushala yang disana itu milik desa (lupa aku) dan yang sini milik daerah perumahan," tutur Maya.
Lha apa lagi ini, perasaan aku di Jawa milih shalat di mushala atau masjid sekarepku yang penting bukan aliran sesat dan  takjilnya enak. Disini malah terkotak-kotak jamaahnya. Kan kasian ga bisa milih takjil yang enak mana.

Ajaib, mushala mirip rumah tapi kecil ternyata penuh oleh jamaah yang shalat. Bahkan duduk tahyatul akhir saja sampai tidak cukup. Mungkin suatu alasan dipisahkannya jamaah adalah kapasitas dari tiap mushala atau masjid. Setelah tiga kali shalat disana, tiap jam 8 ada kegiatan rutin dari tetangga masjid: setel lagu koplo. Baru ngaji "Bismillahirahmanirrahim", disahutin dengan disko lagu "asereje ja reje rejejejeje sabinouva mahabia ni bugiane bidip bidip" atau "Bang sms siapa ini Bang..". Jyahhh...

Ramadhan,bulan penuh berkah dan ampunan
Ramadhan,bulan dimana amal dilipatkgandakan
Ramadhan, waktunya lebih dekat dengan Pencipta
Ramadhan,dimanapun berada, saat ini tetaplah bulan Ramadhan
Aku akan menyabutmu dengan senyuman dan keihlasan
Berada di kalangan minoritas mungkin sebuah kesempatan untuk mendapat amal lebih banyak lagi
Marhaban Ya Ramadhan, aku akan tetap menyambut kedatanganmu dengan gembira dimanapun aku berada

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan dikomen ya... ^^

© More Than a Choice, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena