a choice that change my life

Senin, 03 November 2014

Lost in Myanmar (8): Ala Burma


Myanmar atau Burma? Aku menyebut dua kata tersebut di ceritaku yang sebelumnya. Myanmar adalah nama resmi internasional yang ditetapkan pada tahun 1989. Sebelumnya nama negara Myanmar adalah Burma, sebenarnya Burma merupakan nama ras yang dominan di Myanmar. Jadi jika merujuk ke negara disebut Myanmar, jika merujuk ke bangsa disebut Burma dalam bahasa Inggris Burmish (red: Myanmarian tidak umum). Hari ketigaku di Bagan kutemui budaya dan kehidupan sehari-hari ala Burma. Misalnya parade biksu muda, makan camilan khas dan memakai thanaka.

Pagi hari aku sudah dikejutkan oleh alunan musik mirip dangdut. Kontan saja aku langsung keluar kamarku yang kebetulan di lantai dua dan terlihatlah parade panjang lewat di depan hotel. Kuambil kamera dan berlari ke depan. Iringan terdepan terdapat gerobak berisi sound system menyetel lagu semacam dangdut beserta beberapa pria bermain seruling dan memukul gendang. Iringan itu diikuti dua penari berpakaian warna-warni yang lincah menari sambil tetap melangkah. Iringan dilanjutkan oleh kaum hawa mulai remaja sampai ibu yang memakai baju khas Myanmar dengan longyi warna-warni,mereka semua membawa semacam 'seserahan' dari bunga. Lalu datanglah parade perempuan cantik dengan riasan rambut tinggi. Tiba-tiba Boom Boom Boom datanglah gajah, luar biasa! niat banget! Setidaknya ada tiga ekor gajah yang lewat dan diatasnya duduklah anak kecil berpakaian putih yang dipayungi.

Parade anak cantik.

Gajah dan penunggang putih.

Bokong gajah.

Parade berlanjut dengan kaum perempuan berbaris panjang seperti sebelumnya dan dibelakangnya terdapat penari. Lalu muncul beberapa kuda yang ditunggangi anak kecil berbaju putih (lagi). Selanjutnya rangkaian kaum hawa dengan dandanan cantik muncul lagi dibelakangnya diikuti dengan kereta sapi yang membawa anak kecil. Parade itu lewat sekitar 15 menit dan diakhiri dengan truk yang membawa sound system besar.

Barisan kaum hawa ber longyi.

Para penari.

Kuda dan pengiringnya.

"seserahan"

Gerobak sapi cantik.

Su Mon menjelaskan bahwa parade itu untuk merayakan adanya biksu baru yaitu anak kecil yang berpakaian putih tadi. Menurut kepercayaan, setiap orang paling tidak pernah sekali merasakan menjadi biksu dan dididik di pagoda/kuil. Kebanyakan mereka melakukannya saat masih kecil, mungkin layaknya kita saat menjalani pondok pesantren Ramadhan. "Kamu beruntung bisa menyaksikan parade ini karena acara seperti ini sudah sangat jarang diadakan apalagi di kota besar seperti Yangon," ujar Su Mon. Katanya acara seperti itu menghabiskan biaya yang tidak sedikit dan hanya orang mampu di beberapa daerah yang masih melakukannya.

Hari itu kami berniat hanya mengunjungi Mount Popa yang berjarak sekitar tiga jam perjalanan dari Bagan. Ditengah perjalanan kami beristirahat di warung makan pinggir jalan. Lalu aku melihat rombongan ibu-ibu dengan bis tua yang juga berhenti disana, yang menarik perhatianku adalah salah satu ibu itu mengenakan batik! Ya aku tahu itu motif batik Indonesia, itu batik parang. Aneh sekali. Ditilik dari penampilan dan gayanya, maaf sepertinya ibu itu orang biasa dan tidak mungkin membeli batik sampai pergi ke Indonesia. Kusimpan tanda tanya ini yang ternyata akan terjawab nanti.

Jalan ke Mount Popa.
Ada lagi yang aneh saat perjalanan yaitu ditengah jalan yang bergelombang dan berkerikil tiba-tiba ada bangunan gardu berdiri. Lalu supir membayar uang sekitar 300kyat. Jalanan berubah menjadi lebih mulus dan aspal baru."Ini jalan tol?" tanyaku."Iya tadi untuk bayar tol," jawab Su Mon. Astaghfirullah.... Beruntunglah kalian hidup di Indonesia, hahaha... jalan tol Gresik-Surabaya adalah surga. Jalan tol yang kutemui disana hanyalah aspal mulus tanpa pembatas ditengahnya layaknya jalan biasa yang digambari garis putih. Di kanan-kirinya tidak ada pembatas jalan dan tak ada penerangan lampu sama sekali. Jalan tol yang aneh.

Setelah perjalanan tiga jam terlihatlah Mount Popa, sebenarnya ini adalah pagoda (lagi). Hal unik dari Mount Pope adalah letaknya yang berada diatas puncakgunung berbentuk kotak. Kita harus mendaki ratusan anak tangga untuk mencapai puncaknya. Disana juga banyak monyet nakal. Hal yang menyedihkan adalah kita harus melepas alas kaki layaknya di pagoda lain, tapi ini melepasnya sebelum mendaki dan lantai tangga kotor gara-gara sampah atau pipis monyet =___=.

Aku di dasar pagoda Mount Popa.

Ini si monyet.

Monyet, Yan Naing, dan Su Mon.

Bagian depan pagoda.

Tangga menuju pagoda.
Aku yang berhasil mencapai garis finish half marathon (21 km) selama kurang dari 3 jam (pamer :p padahal 2:50) tidak merasa capek saat mendakinya. Berbeda dengan Su Mon yang sudah kecapekan apalagi dia memakai longyi. Akhirnya semua itu terbayar saat sampai puncak, terlihatlah pemandangan mirip gunung semeru. Mungkin bagi orang Indonesia biasa aja. Tapi lumayanlah, bedanya ini dilihat dari pagoda. Sebenarnya pagoda Mount Pope biasa saja seperti pagoda lain dengan stupa warna emas, yang membedakan hanyalah letaknya yang tinggi. Seumur-umur aku belum pernah lihat masjid di Indonesia yang dibangun mentereng diatas puncak bukit seperti ini. CMIIW :3
Pemandangan dari Mount Popa

Disekitar pagoda.

TErnyata tinggi ya.

<3
:3
<3

Saat Su Mon dan Yan Naing berdoa, aku berputar-putar mencari objek foto. Aku berpikir "Hmmm akulah orang Indonesia pertama yang kesini. HAHAHA (tawa mak lampir)" Tapi ternyata pemikiranku salah setelah aku melihat plang donasi yang tertempel di dalam pagoda, salah satu penyumbangnya dari Indonesia!Wah wah...

Sumbangan orang Indonesia.

geje gejean.
Model majalah.

Penjual disekitar Mount Popa.

Mount Popa dari kejauhan.

Sore hari kami mendaki turun Mount Popa dan melanjutkan perjalanan kembali ke Bagan. Di tengah perjalanan,kami berhenti di rumah jerami.Su Mon ingin menunjukkan padaku cemilan dan bersantai ala Burma. Ternyata penghuni rumah tersebut memproduksi cemilan dari aren dan membuka warung sederhana. Aku mencicipi minuman khas yang manis, Su Mon menyebutkan namanya tapi aku lupa. Mungkin itu semacam legen tapi ini bening. Minuman itu disajikan dengan kacang-kacangan bersambal daun teh hijau. Aku juga masuk ke rumah jerami dan melihat cara membuat minuman. Jadi sari aren dipanaskan di dalam tungku dengan arang dan diambil uapnya,uap itulah yang kita minum. Produk aren lainnya yaitu gula batu yang dibentuk kecil-kecil dan dibuat lebih 'prul'. Satu bungkus besar cuma 500kyat atau sekitar 5000 rupiah, murah bingit.

Rumah jerami.


Warung ala Burma.

Membuat legen ala Burma.

Cara menunangkan minuman.

Afternoon break sweet.

Kacang-kacangan dan sambel teh hijau ditengahnya.
Camilan gula batu.

Aku melihat anak penjual minuman itu bersolek dengan thanaka. Ternyata wujud asli thanaka adalah kayu!! Jadi kayu di ulek ke cowek dan diberi sedikit air. Serpihan lembut dari kayu itulah yang di tolet kan ke wajah. Pantas saja dari kemarin banyak yang menual gelondongan kayu, kupikir untuk arang. Meski thanaka adalah make up tradisonal tapi jangan meremehkan kehebatannya. Seumur-umur perjalananku selama empat hari di Myanmar belum pernah kutemukan perempuan yang kusam atau berjerawat. Meski mereka ta secantik dan modis cewek Thailand atau seimut cewek Indonesia (Pede), wajah mereka semua mulus dan bersih. 

Aku tergoda untuk memakainya dan anak penjual itu berbaik hati membolehkanku mencoba thanaka. Thanaka adem di kulit, bisa mengeringkan jerawat, dan membuat kulit putih. Sebenarnya hari berikutnya, Su Mon memberiku beberapa thanaka instant dan sering kupakai untuk masker. Ayo ayo yang beli yang beli (macam sales).

Membuat thanaka.

Ayo tolet-tolet.

Perjalanan di Bagan selesai di hari itu. Sebelum naik bis, kami menyempatkan makan malam.Sebenarnya aku sudah tak selera makan tapi mending makan daripada kelaparan nanti. Kupilih menu daging kare lagi karena hanya itu yang kutahu cocok di lidah. Datanglah nasi dan daging kare. Lalu datang setidaknya enam piring lagi berisi sup, 2 macam sambal, asinan sayur, dan lalapan. Kupikir itu juga untuk Su Mon dan Yan Naing. Tapi Su Mon berkata "This all for you". "Whaaat?" ujarku histeris. Ternyata kalau order kare di Myanmar makan teman-teman kare seangkatan juga akan hadir. Jadi kalau kita pesan kare untuk sendirian setidaknya ada 8 piring yang akan disajikan. "I will join to eat with you," ujar Yan Naing dan dia memesan sepiring nasi lagi. Alhamdulillah...
Kare domba and the gank ala Burma!!
Cerita selanjutnya, Lost in Myanmar (9): Highlight Yangon Bersama Aung, http://elitachoice.blogspot.com/2014/11/lost-in-myanmar-9-highlight-yangon.html

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan dikomen ya... ^^

© More Than a Choice, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena