a choice that change my life

Jumat, 24 Oktober 2014

Lost in Myanmar (2): Kyat, Longyi, Setir Kanan, dan Mingalabar

Sore hari tanggal 23 Desember 2013, aku sudah bersiap di bandara Don Muang Bangkok. Paspor dengan sticker VISA Myanmar sudah di tangan. Aku juga sudah menyimpan nomer telepon Su Mon Latt dan alamat rumahnya dalam bahasa cacing ala Burma. Ruang tunggu Don Muang ini juga sudah dipenuhi orang Burma, aku tahu dari nada suaranya yang khas "Whuwowowowo..." seperti menelan udara dan mendengung.

Perjalanan Bangkok-Yangon hanya membutuhkan waktu sejam. Sekitar jam 19:30 aku telah sampai di bandara internasional Yangon. Kulihat plang bertuliskan "Welcome to the golden land Myanmar". Mayoritas pemeluk agama di Myanmar adalah Budha sama halnya dengan Thailand. Jadi tak heran kalau mereka menjuliki dirinya golden land karena ada banyak pagoda emas yang digunakan untuk sembahyang umat Budha layaknya masjid yang mudah ditemui di Indonesia. Aku sebenarnya agak menyesal datang ke Myanmar akhir Desember karena penutupan Asean Games sudah dilakukan minggu lalu di kota Nay Phi Taw (ini gimana nulisnya? =P). Kata-kata Burma memang susah dilafalkan termasuk Yangon, untukku Yangon ya dibaca Y-A-N-G-O-N dengan 'ngon' yang medok. Tapi ternyata bacanya "yanggung" semacam itulah.
Suasana bandara Yangon.
Kukira aku bakal jadi pusat perhatian karena penampilanku yang berkerudung, jalan sendirian dan kecil -_- (sedih). Ternyata ya disana biasa aja, mereka tak melototi kita seperti benda langka meski di bandara tak kutemui seorangpun berkerudung. Keluar dari imigrasi aku langsung menuju ke money changer dan menukarkan lembar dollarku. Kira-kira 1 dollar= 980 kyat. Tiba-tiba aku merasa kaya karena mendapat uang segepok. Tapi setelah kupikir-pikir nilai tukar rupiah lebih memalukan 1dollar= 12000 rupiah malah jadi jutawan mendadak. Awalnya aku mengkonversi uang kyat ke dollar lalu ke baht, rempong. Cara mudah mengira-ngira uang kyat adalah dengan menambah 0 dibelakangnya dan dijadikan rupiah. Misal biaya taksi 5000 kyat berarti sekitar 50000 rupiah. By the way, ini kyat juga ga dibaca 'kiat' deangan huruf mati t, tapi dibaca 'cess' yah semacam itulah.

Memakai sarung atau yang mereka sebut longyi adalah hal umum disini. Meski bukan negara muslim, laki-laki memakai sarung layaknya laki-laki disini pas mau sholat jumat. Bedanya cara penggulungan sarung, kalau di Indonesia sarung akan digulung menjadi cepol persegi panjang sedangkan longyi di Myanmar akan digulung membentuk cepol bulat. Kaum perempuannya juga menggunakan sewek yang mereka sebut longyi bedanya pada motifnya. Kebanyakan motif sewek Myanmar merupakan garis horizontal dengan berbagai macam warna.

Memakai sarung atau longyi merupakan pemandangan biasa.
Keluar dari bandara, beberapa laki-laki ber longyi dengan mulut berbusa merah sudah menyapa "Where are you going?" layaknya calo taksi di Indonesia. Sumpah aku tak paham Bahasa Inggris mereka yang tertelan-telan. Ups tapi jangan dianggap semua Inggris orang Myanmar jelek karena teman-temanku Myanmar memiliki Bahasa Inggris yang sangat bagus saking fasihnya aku bahkan tak bisa menangkap apa yang mereka omongkan (serius levelku terlalu rendah :( ). Aku sempat bengong lalu mulai mengeluarkan jurus andalan yaitu bahasa tubuh, gambar, dan tulisan. Kukeluarkan catatan yang diberikan temanku dalam bahasa Burma. "wewewoo pagoda pyar," ujar laki-laki itu. Aku yang tak paham mengangguk-angguk saja sambil menawar harga dengan tanganku "5000 kyat". Sepertinya supir taksi itu setuju dan meminta menungguku di mobil. Tak mau rugi, supir itu masih mencari penumpang lain. Sekitar 10 menit datanglah 3 penumpang berambut pirang mengisi kursi belakang.

Taksi yang tidak privat ini akhirnya melaju menembus jalanan yang gelap. Baru kali ini kutemui taksi yang narik dengan penumpang lain juga. Jalanan Yangon sama halnya dengan Indonesia beraspal hitam tapi tanpa lubang-lubang. Kanan kiri kutemui pohon yang berjajar disepanjang jalan. Oke sejauh ini sama. Tapi tunggu dulu, aku merasa aneh. Keanehan berada pada mobil dan jalan. Aku duduk di depan sebelah kiri dan supir disebalah kanan, ini normal sama halnya di Indonesia. Masalahnya mobil itu melaju di bahu jalan sebelah kanan!! Masih ga paham? Bayangkan kalian mengendarai mobil normal lalu melaju di bahu jalan sebelah kanan. Nyelip dari mana? pasti nyelip mendekati garis tengah jalan kan? Kalau di Indonesia menyelip dari sebelah kanan, setir juga sebelah kanan jadi bisa menyesuaikan. Sedangkan di Myanmar nyelip dari kiri dan setir di kanan!! OMG! Jadi yang horor malah aku yang disebelah kiri karena supir disebelah kanan buta (tertutup kendaraan di depan) saat menyetir. Mana jalannya sama di Indonesia tengahnya kebanyakan hanya dibatasi gambar garis putus-putus. Matek kalau kita nyelip disisi lainnya juga ada yang nyelip. Sumpah ini nanggung banget, kenapa sih ga produksi mobil dengan setir kiri kalau bahu jalannya di kanan?

Supir disebelah kanan.
Bahu jalan juga sebelah kanan.
Lewat 15 menit taksi berhenti dan memberi aba-aba kepadaku untuk keluar.Aku merasa tertipu karena dibagian jalan ini hanya tembok panjang yang kukira dibelakanya adalah kuburan (biasae lak gitu di Indonesia). "Where?" tanyaku lalu supir taksi itu menunjuk sisi bagian lain jalan raya dan terlihatlah bangunan tua bertingkat. Aku melototin peta yang diberikan Su Mon Latt dan masih tak paham yang mana rumahnya. Lalu aku bertanya pada laki-laki tua yang duduk santai didepan rumah. Pertama senyum. Kedua langsung pakai bahasa tubuh menunjukkan alamat temanku dan memasang wajah bingung yang mendekati bloon. Pengalamanku, orang tua, penjual di pasar biasa, anak kecil tidak bisa berbahasa Inggris tapi semua orang bisa bahasa tubuh. Pak tua itu masih tak paham maksudku dan ikut memasang wajah bingung. Tereettttt....

Jurus terakhir adalah mengeluarkan nomer telepon temanku Su Mon dan masang wajah bingung lagi. Aku tak bisa menghubungi Su Mon karena hapeku memakai kartu Indonesia dan Thailand dan tak berniat membeli Sim card yang harganya sekitar 200 ribu. Akhirnya Pak tua tadi paham dan memanggil segerombolan anak gaul Yangon yang sedang ngumpul layaknya di warung kopi. Salah satu pemuda berambut jabrik mendekatiku dan mengajakku bicara bahasa Burma. Aku bilang "I dont understand," sambil tanganku kuayun-ayunkan membentuk NO, lalu menunjukkan no telepon temanku lagi. Untungnya pemuda itu langsung menelpon nomer temanku. Tak berapa lama teman yang kukenal lewat dunia maya datang secara langsung dari apartemen sebelah. Leganya minta ampun.

"How are you?" Su Mon menyapaku dengan ramah sambil membantu mengangkat tasku ke rumahnya yang ternyata di lantai 5, lumayan tanpa lift. Su Mon merupakan perempuan lulusan kedokteran dan bekerja di rumah sakit internasional di Yangon, kalau cuma lihat dari fotonya di FB pasti kalian akan menyangka dia asli korea dan profesinya model, serius. Dia tinggal hanya bersama ibunya jadi dia mempersilahkanku menginap di rumahnya sehari dan 3 hari berikutnya akan pergi bersamanya ke Bagan. Tiga hari lain kuniatkan untuk menginap di hotel Yangon meski nebeng aku juga tahu diri untuk tidak merepotkan.

"Mingalabar," salamku ala Burma saat bertemu dengan ibu Su Mon. Entah pengucapanku bener apa nggak, yang jelas aku sering dengar kata itu di komunitas orang Myanmar di kampusku. Untungnya ibu Su Mon menjawab salamku Mingalabar juga dengan pengucapan yang mendengung. Ibu Su Mon juga menyambutku dengan ramah. Ibu Su Mon meski sudah berumur tapi tetapterlihat muda dengan potongan rambut pendek dan aku membayangkan wajah ibunya seperti artis Indonesia tahun 70an, cantik bingit dan masih langsing dan lulusan sarjan Universitas Yangon (macam UI paling kalau disini). Asiknya lagi ibunya bisa berbahasa Inggris meski kadang aku tak paham bahasa Inggrisnya,dia juga tak paham bahasa Inggrisku. Kami masih bisa komunikasi dengan senyum dan bahasa tubuh (lagi). Ibu Su Mon juga menyuruhku untuk menginap di rumahnya setelah kepulanganku ke Bagan, jadilah aku cancel hotel yang sudah kubooking untuk tiga hari terkahir. So Lucky tapi sedikit tak tahu diri =_= maklum mahasiswa perantauan.

Ibu Su Mon.
Rumah Su Mon adalah apartemen sederhana di lantai 5, memiliki ruang tamu yang juga ruang ibadah dengan patung budha dan sesajen, dua kamar tidur, kamar mandi dan toilet yang dipisah (macam rumah di kampungku :p), dan ruang makan campur dapur. Aku sekamar dengan Su Mon yang kebetulan memilki ranjang tingkat. Saat itu aku ingat kalau belum sholat Maghrib dan Isya. Aku minta ijin Su Mon dan ibunya untuk 'pray'. Tak disangka, ibu Su Mon seolah paham dan membersihkan space di ruang tamunya yang juga tempatnya beribadah. Aku menggelar sajadah dan menetukan arah kiblat. Untung saja arahnya membelakangi patung budha kecil yang dipajang di ruang tamu. Setelah selesai sholat, ibu Su Mon bercerita kalau dia juga punya teman muslim jadi sedikit banyak tahu tentang ibadah kami.

Pojok untuk sembahyang orang Burma.
Kyat, Longyi, Setir Kanan, Jalan Kanan, Mingalabar adalah hal baru bagiku. Toleransi beragama bukanlah hal baru bagiku yang hidup di Indonesia namun aku kagum ini juga bisa kutemui di Myanmar yang santer kabar muslim yang diperangi. Don't judge whole country by the news :) Semua orang normal itu pada dasarnya baik, hal itu yang selalu kucamkan pada diriku.

Cerita selanjutnya, Lost in Myanmar (3): Menjadi Autis di Yangon , http://elitachoice.blogspot.com/2014/10/lost-in-myanmar-3-menjadi-autis-di.html

2 komentar:

  1. Halo, mbak. Apakah saya bisa minta alamat e-mailmu? Kebetulan, aku ada rencana liburan ke Yangon. Terima kasih.

    BalasHapus
  2. silahkan kontak lewat fb atau twitter. linknya ada di kolom sbelah kanan

    BalasHapus

Silahkan dikomen ya... ^^

© More Than a Choice, AllRightsReserved.

Designed by ScreenWritersArena